Semoga menjadi pelajaran Penting..
(dicuplik dari RESONANSI - Republika Desember 2006/Ahmad Tohari)
Ini
kisah tentang
Yu Timah. Siapakah dia? Yu Timah adalah tetangga kami. Dia salah
seorang penerima program Subsidi Langsung Tunai (SLT) yang kini sudah
berakhir. Empat kali menerima SLT selama satu tahun jumlah uang yang
diterima Yu Timah dari pemerintah sebesar Rp 1,2 juta.
Yu
Timah adalah penerima SLT yang sebenarnya. Maka rumahnya berlantai
tanah, berdinding anyaman bambu, tak punya sumur sendiri. Bahkan status
tanah yang di tempati gubuk Yu Timah adalah bukan milik sendiri.
Usia Yu Timah sekitar lima
puluhan, berbadan kurus dan tidak menikah.
Barangkali
karena kondisi tubuhnya yang kurus, sangat miskin, ditambah yatim sejak
kecil, maka Yu Timah tidak menarik lelaki manapun. Jadilah Yu Timah
perawan tua hingga kini. Dia sebatang kara. Dulu setelah remaja Yu Timah
bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta . Namun, seiring
usianya yang terus meningkat, tenaga Yu Timah tidak laku di pasaran
pembantu rumah tangga. Dia kembali ke kampung kami. Para tetangga
bergotong royong
membuatkan gubuk buat Yu Timah bersama emaknya yang sudah sangat renta.
Gubuk itu didirikan di atas tanah tetangga yang bersedia menampung anak
dan emak yang sangat miskin itu.
Meski
hidupnya sangat miskin, Yu Timah ingin mandiri. Maka ia berjualan nasi
bungkus. Pembeli tetapnya adalah para santri yang sedang mondok di
pesantren kampung kami. Tentu hasilnya tak seberapa. Tapi Yu Timah
bertahan. Dan nyatanya dia bisa hidup bertahun-tahun bersama emaknya.
Setelah
emaknya meninggal Yu Timah mengasuh seorang kemenakan. Dia biayai anak
itu hingga tamat SD. Tapi ini zaman apa. Anak itu harus cari makan.
Maka
dia tersedot arus perdagangan pembantu rumah tangga dan lagi-lagi
terdampar di Jakarta . Sudah empat tahun terakhir ini
Yu Timah kembali hidup sebatang kara dan mencukupi kebutuhan hidupnya
dengan berjualan nasi bungkus. Untung di kampung kami ada pesantren
kecil. Para santrinya adalah anak-anak petani yang biasa makan nasi
seperti yang dijual Yu Timah.
Kemarin
Yu Timah datang ke rumah saya. Saya sudah mengira pasti dia mau bicara
soal tabungan. Inilah hebatnya. Semiskin itu Yu Timah masih bisa
menabung di bank perkreditan rakyat syariah di mana saya ikut jadi
pengurus. Tapi Yu Timah tidak pernah mau
datang ke kantor. Katanya, malu sebab dia orang miskin dan buta huruf.
Dia menabung Rp 5.000 atau Rp 10 ribu setiap bulan. Namun setelah
menjadi penerima SLT Yu Timah bisa setor tabungan hingga Rp 250 ribu.
Dan sejak itu saya melihat Yu Timah memakai cincin emas. Yah, emas.
Untuk orang seperti Yu Timah, setitik emas di jari adalah persoalan
mengangkat harga diri. Saldo terakhir Yu Timah adalah Rp 650 ribu.
Yu Timah biasa duduk menjauh bila berhadapan dengan saya. Malah maunya bersimpuh di lantai, namun selalu saya cegah.
''Pak, saya mau mengambil tabungan,'' kata Yu Timah dengan suaranya yang kecil.
''O, tentu bisa. Tapi ini hari Sabtu dan sudah sore. Bank kita sudah tutup. Bagaimana bila Senin?''
''Senin juga tidak apa-apa. Saya tidak tergesa.''
''Mau ambil berapa?'' tanya saya.
''Enam ratus ribu, Pak.''
''Kok banyak sekali. Untuk apa, Yu?''
Yu Timah tidak segera menjawab. Menunduk, sambil tersenyum malu-malu.
''Saya
mau beli kambing kurban, Pak. Kalau enam ratus ribu saya tambahi dengan
uang saya yang di tangan, cukup untuk beli satu kambing.''
Saya
tahu Yu Timah amat menunggu tanggapan saya. Bahkan dia mengulangi
kata-katanya karena saya masih diam. Karena lama tidak memberikan
tanggapan, mungkin Yu Timah mengira saya tidak akan memberikan uang
tabungannya. Padahal saya lama terdiam karena sangat terkesan oleh
keinginan Yu Timah membeli kambing kurban.
''Iya,
Yu. Senin besok uang Yu Timah akan diberikan sebesar enam ratus ribu.
Tapi Yu, sebenarnya kamu tidak wajib berkurban. Yu Timah bahkan wajib
menerima kurban dari saudara-saudara kita yang lebih berada. Jadi,
apakah niat Yu Timah benar-benar sudah bulat hendak membeli kambing
kurban?''
''Iya
Pak. Saya sudah bulat. Saya benar-benar ingin berkurban. Selama Ini
memang saya hanya jadi penerima. Namun sekarang saya ingin jadi pemberi
daging kurban.''
''Baik, Yu. Besok uang kamu akan saya ambilkan di bank kita.''
Wajah
Yu Timah benderang. Senyumnya ceria. Matanya berbinar. Lalu minta diri,
dan dengan langkah-langkah panjang Yu Timah pulang.
Setelah Yu Timah
pergi, saya termangu sendiri. Kapankah Yu Timah mendengar, mengerti,
menghayati, lalu menginternalisasi ajaran kurban yang ditinggalkan oleh
Nabi Ibrahim? Mengapa orang yang sangat awam itu bisa punya keikhlasan
demikian tinggi sehingga rela mengurbankan hampir seluruh hartanya?
Pertanyaan ini muncul karena umumnya ibadah haji yang biayanya mahal itu
tidak mengubah watak orangnya. Mungkin saya juga begitu. Ah, Yu Timah,
saya jadi malu. Kamu yang belum naik haji, atau tidak akan pernah naik
haji, namun kamu sudah jadi orang yang suka berkurban. Kamu sangat
miskin, tapi uangmu tidak kaubelikan makanan, televisi, atau pakaian
yang bagus. Uangmu malah kamu belikan kambing kurban. Ya, Yu Timah.
Meski saya dilarang dokter makan daging kambing, tapi kali ini akan saya
langgar. Saya ingin menikmati daging kambingmu yang sepertinya sudah
berbau surga. Mudah-mudahan kamu mabrur
sebelum kamu naik haji.
Lebih Baik memberi Dari pada menerima
"SELAMAT HARI RAYA IDUL ADHA 1428 H", untuk sahabat-sahabat yang merayakan