Kamis, 15 Maret 2012

In Memorian, The Don (bag.3).

*Bagian III: Logika ekonomi*

Dalam tulisannya yang jadi pengantar buku ‘Pengalaman Pembangunan Indonesia, Emil Salim menulis lebih dalam soal dikesampingkannya logika ekonomi dalam pengambilan kebijakan di periode itu.

Di paruh pertama dekade ‘60an, 45 persen APBN dialokasikan untuk pengeluaran militer. Ini tidak lepas dari keputusan politik untuk merebut kembali Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia. Selain militer, APBN terserap untuk sejumlah proyek mercu suar. Ini semua dibiayai lewat, terutama, mencetak uang.

Akibatnya, volume uang beredar jadi tidak terkendali. Teori ekonomi mengajarkan, ada hubungan positif antara uang beredar dan inflasi. Ini yang menjebabkan inflasi terbang ke angka 100 persen antara 1962-64, dan 650 persen dari Desember 1964-Desember 1965. Selain inflasi, neraca perdangangan juga mengalami defisit parah, dan cadangan devisa turun dari 326,4 juta dolar AS (1960) menjadi hanya 8,6 juta dolar AS (1965).

Hutang luar negeri saat itu berjumlah 2,4 milyar dolar AS; hampir separuhnya digunakan untuk pos militer (hal ix-x). Kebijakan ini mungkin punya hal positif bagi pembagunan karakter bangsa dan semangat nasionalisme. Tapi tidak bagi kesejahteraan.

Di tahun-tahun awal Orde Baru (1966-71), setelah Widjojo dkk. menggawangi pos kebijakan ekonomi, stabilisasi harga adalah prioritas utama. Salah satunya adalah mendisiplinkan pengeluaran pemerintah.

Hasilnya, inflasi berhasil diturunkan. Karena inflasi turun, pendapatan riil penduduk, terutama buruh/karyawan di perkotaan, naik secara signifikan. Dampaknya terhadap kesejahteraan terlihat dari turunnya jumlah penduduk miskin serta tingkat ketimpangan (lihat Anne Booth dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies, April 2000).

Hubungan antara defisit anggaran, uang beredar dan inflasi adalah satu contoh sederhana dari logika ekonomi yang dilupakan oleh pemerintahan Sukarno, sekaligus salah satu instrumen awal yang digunakan Widjojo dkk. dalam membenahi warisan problem ekonomi.

Contoh lain – juga diceritakan ulang oleh Emil Salim – adalah hubungan antara permintaan, penawaran dan harga. Dalam menghitung volume produksi beras, pemerintah pusat menerima laporan dari pejabat di daerah dan Biro Pusat Statistik. Tentu banyak error, bias dan inkonsistensi dari angka yang dilaporkan. Bisa karena murni kesalahan statistik, bisa juga karena kecenderungan pejabat daerah melaporkan lebih tinggi dari yang sebenarnya.

#####

Namun hukum penawaran mengatakan, kalau penawaran sedikit, harga akan naik. Kalau laporan mengatakan jumlah produksi berlimpah tapi harga beras tidak turun, bahkan naik, tentu ada masalah dalam angka-angka yang dilaporkan. Sebagai Ketua Bappenas, Widjojo menginstruksikan bawahannya untuk menggunakan ‘harga beras pada musim panen’ sebagai indikator tinggi-rendahnya produksi beras, bukan perkiraan pejabat daerah (hal. xix-xx).

Pidato pengukuhan Widjojo sebagai Guru Besar Ilmu Ekonomi (1963) memuat pemikiran yang lebih detail tentang penggunaan economic inner logic untuk keperluan perencanaan pembangunan dan pengambilan kebijakan. Widjojo membahas dengan baik sekali, dan dengan bahasa yang sederhana, tentang kegunaan analisis ekonomi:

Yang diusahakan oleh analisa ekonomi bukanlah diperolehnya pengertian yang serba lengkap mengenai keseluruhan yang serba kompleks tersebut, melainkan “… berbagai hubungan umum yang terdapat di antara gejala-gejala ekonomi tertentu” (hal 12).

Widjojo kemudian membahas mengenai penuangan analisis ekonomi dalam bentuk persamaan matematika. Di dalam persamaan matematika, ada variabel, ada parameter (yang besarannya konstan). Variabel bisa dibedakan sebagai variabel eksogen dan endogen; dan mana yang dikuasai oleh pengambil keputusan (variabel kebijakan atau instrumen), dan mana yang harus diterima sebagai given.

Formulasi matematis dalam analisis ekonomi memiliki sejumlah kelebihan: penajaman perumusan pengertian dan hubungan antara variabel, pernyataan asumsi secara eksplisit, konsistensi logis antara asumsi dan kesimpulan bisa diuji, interdepenensi antara berbagai gejala ekonomi bisa lebih mudah ditunjukkan dan dikaji lebih jauh, dan langkah selanjutnya yaitu pengukuran dan pengujian empiris bisa dilakukan (hal. 15).

Model ekonomi, dengan demikian: “… dapat membantu pengambil keputusan mengambil tindakan secara rasional, dalam arti bahwa pengambil keputusan telah memperhitungkan serta membanding-bandingk an akibat berbagai tindakan alternatif yang dapat ia ambil” (hal 15).

Bukan berarti Widjojo memproklamasikan supremasi pendekatan ekonomi-kuantitatif atas disiplin ilmu atau pendakatan lainnya. Di pidato yang sama, ia juga membahas soal kelemahan pendekatan ini. Pertama, pada dasarnya penggunaan matematika dalam analisis ekonomi adalah reduksi dan simplifikasi atas masalah yang kompleks dan seringkali nonlinier. Widjojo menegaskan bahwa matematika adalah perangkat untuk mempertajam perumusan. Penelaahan secara institusional dan perumusan konsep secara kualitatif tetap tidak bisa ditinggalkan (hal. 14).

Kedua, Widjojo menggarisbawahi bahwa masalah produksi dan pertumbuhan ekonomi bukanlah semata-mata gejala ekonomi. Kerjasama antara disiplin ekonomi dan ilmu sosial lain akan sangat berguna dalam memahami sebuah masalah. Menariknya, di paragraf yang sama ia juga menuliskan bahwa “kerjasama antara berbagai ilmu pengetahuan tidak selalu memberikan hasil yang memuaskan dan mungkin mengandung hal-hal yang mengecewakan (hal. 27).” Sayang ia tidak membahas lebih lanjut tentang hal ini, jadi saya tidak bisa menangkap konteks dan maksud dari adanya pernyataan yang terdengar paradoks itu.

Jika pidato pengukuhan Guru Besar itu adalah ringkasan dari pemikiran ekonomi Widjojo, maka pidato itu bisa dilihat sebagai dasar dari sintesis antara pemikiran akademis dan kebijakan publik. Sebuah proses pengambilan kebijakan yang didasarkan atas pendekatan ilmiah, dalam hal ini teori ekonomi yang diimplementasikan dalam kebijakan pembangunan ekonomi. Artinya, teori (ekonomi) bukan hanya berhenti sebagai sebuah produk ilmiah, tapi menjadi landasan bagi kebijakan. Sebaliknya, pengambilan kebijakan juga tidak semata-mata didasarkan pada retorika yang heroik atau deal politik, melainkan punya pijakan pada landasan ilmiah.

Sintesis antara akademik dan kebijakan publik ini (kemudian) dikenal dengan istilah teknokrasi. Pengambil kebijakan yang berasal dari kalangan akademis-profesiona l dikenal sebagai teknokrat. Widjojo dkk. kemudian menjadi sebuah model atas sebuah kelompok teknokrat yang  menggawangi kebijakan publik (ekonomi) di sebuah negara. Tidak semua melihat model ini sebagai ideal. Tidak sedikit yang bahkan menganggap teknokrasi ala ‘Mafia Berkeley’ sebagai anti-demokrasi, bahkan ‘kecelakaan sejarah.’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar