Kamis, 15 Maret 2012

In Memorian, The Don (bag.4).

  *Oleh: Ari Perdana*)

*Bagian IV: Kritik*

Tulisan dan pandangan kritis terhadap Mafia Berkeley sudah tidak terhitung. Tentu kebijakan ekonomi Widjojo dkk, dan bagaimana proses pengambilan kebijakan dilakukan, bukan hal yang bebas kritik. Tapi kita juga tidak bisa melepaskan apa dan bagaimana kebijakan ekonomi yang diambil saat itu dengan kondisi obyektif yang saat itu. Ekonomi Indonesia dalam keadaan kacau,
negara nyaris bangkrut (bahkan tidak punya uang untuk membetulkan pagar Istana Negara).

Sementara itu stok akademisi yang punya latar belakang ekonomi tidak banyak. Widjojo dkk. sendiri pergi ke Berkeley untuk mengisi kebutuhan staf pengajar FEUI yang hingga akhir 1950an kebanyakan punya latar belakang ilmu hukum, bukan ekonomi. Dengan kata lain, ketika melontarkan kritik kita juga perlu bertanya beberapa hal: apa pilihan yang tersedia saat itu, dan seberapa feasible?
Apa trade-off kalau yang diambil adalah pilihan alternatif yang tersedia itu? Apa counterfactual yang akan terjadi?

Secara umum, ada dua hal besar yang jadi sasaran kritik: 1) paradigma dan esensi kebijakan ekonomi yang dianut oleh Widjojo dkk., dan 2) adanya dominasi sebuah kelompok teknokrat atas pengambilan kebijakan publik.

Kritik jenis pertama kebanyakan mempermasalahkan kebijakan ekonomi yang berorientasi pada sistem ekonomi pasar, pro-Barat, bertumpu pada hutang luar negeri, dan semacamnya. Saya justru menganggap Widjojo dkk. kurang propasar. Buat saya, kebijakan ekonomi Widjojo dkk. yang bersifat dirigista justru memberikan ruang yang terlalu besar buat negara dalam kegiatan ekonomi. Negara (pemerintah pusat) menjadi institusi yang terlalu besar, kuat dan berkuasa. Implikasinya, ini memberikan legitimasi yang begitu besar pada negara ketika kemajuan ekonomi bisa dicapai. Legitimasi dari kondisi ekonomi ini memberikan insentif bagi Orde Baru untuk bertindak tidak demokratis.

Tapi kemudian posisi kritik ini menjadi dilematis. Apakah jadinya Widjojo dkk. bersalah karena memberikan legitimasi pada Suharto lewat kemajuan ekonomi, dan legitimasi itu digunakan Suharto untuk bertindak tidak demokratis? Karena kalau ya, sama saja dengan mengatakan harusnya Widjojo dkk. tidak membuat kebijakan yang membawa perbaikan ekonomi. Tentu kondisi yang ideal adalah kalau kemajuan ekonomi bisa terjadi tanpa memberikan legitimasi yang besar bagi Suharto. Ini bisa terjadi jika dari awal perekonomian lebih bertumpu pada mekanisme pasar. Masalahnya, kondisi objektif saat itu memang tidak memberikan banyak pilihan.

Pemerintah mau tidak mau harus berperan besar di sebuah negara dimana fondasi dan infratruktur yang kokoh untuk ekonomi pasar belum tersedia, warisan dari orientasi kebijakan Orde Lama yang menempatkan politik sebagai panglima. Ini membuat kritik saya bahwa Widjojo dkk. sebagai kurang propasar menjadi tidak kontekstual.

Saya kira Widjojo dkk. saat itu punya gambaran bahwa ketika landasan kelembagaan sudah lebih kuat, perlahan-lahan dominasi negara akan dikurangi, dan mekanisme pasar akan lebih berperan sebagai mekanisme alokasi sumber daya lewat serangkaian deregulasi dan liberalisasi. Liberalisasi tahap pertama adalah liberalisasi neraca modal, sebagai bagian dari stabilisasi ekonomi antara 1966-1971.

Intinya, tujuan kebijakan ini adalah membuka capital account Indonesia supaya modal asing, baik dalam bentuk PMA atau pinjaman punya insentif untuk masuk. Ini adalah sebuah langkah yang sampai sekarang banyak dikritik. Satu kubu pengritik mengatakan, kebijakan ini sama dengan menjual bangsa Indonesia kepada modal asing.

Masalahnya, lagi-lagi ini persoalan pragmatis, bukan ideologis, sekaligus persoalan kontekstual. Banyak yang lupa, di tahun 1966-67, negara dalam keadaan nyaris bangkrut, dan inflasi meroket.
Sumber penerimaan domestik nyaris tidak ada, jangan dulu bicara penerimaan pajak.

Tidak mungkin membiayain anggaran dengan mencetak uang. Selama ini pemerintahan Sukarno mengandalkan hutang dari negara blok Komunis, yang setelah 1966 tidak lagi mau memberikan pinjaman. Sementara negara tetap perlu uang untuk membiayai pembangunan.

Saya tidak tahu, jika mereka yang mengritik kebijakan liberalisasi neraca modal dengan argumen nasionalisme dari kacamata sekarang berada dalam posisi Widjojo dkk. saat itu, kira-kira langkah apa yang akan mereka ambil. Dan persoalannya juga bukan berhutang atau tidak, karena kenyataannya pemerintahan Sukarno juga berhutang, dan hutangnya terus naik.

Saya pun pernah punya kritik terhadap kebijakan ini. Merujuk pada buku MacKinnon (1971), tahapan liberalisasi yang ideal adalah dimulai dari liberalisasi sektor riil, kemudian perdagangan, baru modal dan investasi. Yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Tapi, pada akhirnya ini adalah masalah apa yang ideal dalam buku teks dengan kenyataan. Bahwa liberalisasi di Indonesia dimulai dari neraca modal terjadi karena dorongan keadaan. Sekali lagi kritik saya pada Widjojo dkk. jadi kehilangan konteks sejarah.

* * *

Gagasan tentang liberalisasi ekonomi juga tidak serta-merta bisa diterapkan dalam bentuk kebijakan, meski Widjojo dkk. ada di posisi pengambil kebijakan. Di tahun ’70an, ketika kenaikan harga minyak menyebabkan kenaikan signifikan atas penerimaan pemerintah, negara punya sumber daya lebih besar untuk tidak tunduk pada prinsip-prinsip ekonomi pasar.

Di periode itu dibangun banyak proyek industri padat modal seperti
petrokimia, yang antara lain didorong oleh uang dari rejeki minyak. Ini bertentangan dengan economic inner logic karena kebijakan industri yang demikian tidak sejalan dengan teori keunggulan komparatif. Sebagai negara dengan banyak penduduk, keunggulan komparatif Indonesia adalah industri-industri padat karya.

Dan tujuan pembangunan lima tahun di periode awal adalah membangun industri yang menghasilkan barang jadi. ’Tanda tangan’ Mafia Berkeley tidak terlihat dalam orientasi kebijakan seperti ini. Widjojo tetap berusaha agar rejeki minyak bisa digunakan untuk pembiayaan pembangunan. Salah satunya adalah program SD Inpres, yang menjadi salah satu program pembangunan infrastruktur pendidikan dengan skala terbesar dalam sejarah pembangunan ekonomi negara-negara di dunia.

Liberalisasi tahap berikutnya baru bisa terjadi di awal dan pertengahan ‘80an. Itu pun karena dorongan keadaan: jatuhnya harga minyak. Pemerintah tidak lagi bisa mengandalkan penerimaan minyak untuk membiayai pembangunan. Maka pembangunan ekonomi sekarang harus bertumpu pada pelaku swasta (non-pemerintah) . Caranya adalah mendorong ekspor non-migas, terutama dari sektor industri padat karya. Sumber pendanaan investasi dari dalam negeri juga harus didorong.

Di sini pun terlihat bahwa meski jatuhnya harga minyak memaksa negara untuk mengurangi dominasinya dalam kegiatan ekonomi, tetap ada batas-batas bagi gagasan liberalisasi untuk dijalankan. Liberalisasi ekonomi akan mengancam penerimaan rente yang selama ini dinikmati oleh kelompok kepentingan, terutama mereka yang dekat dengan kekuasaan. Dan Widjojo dkk., meski banyak orang mengira mereka begitu berkuasa, tetap tidak bisa menembus ruang-ruang ini.

Itulah mengapa liberalisasi di periode ‘80an terjadi di sektor keuangan dan perbankan (lewat kebijakan deregulasi yang dikenal dengan PAKTO dan PAKNO). Memang ada alasan objektif untuk meliberalisasi sektor keuangan. Iklim finansial yang represif tidak akan mendukung tujuan untuk mengembangkan industri dan meningkatkan ekspor non-migas.

Tapi ada juga alasan ekonomi-politik: pemain di sektor perbankan saat itu belum banyak. Tekanan dari para kroni dan kelompok kepentingan juga lebih kecil dibanding meliberalisasi, misalnya, terigu atau kelapa sawit. Deregulasi perbankan di periode ‘80an membuat krisis akibat jatuhnya harga minyak tahun ’82 bisa dilewati.

Bahkan setelah itu Indonesia mengalami era pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Widjojo sendiri sejak 1983 tidak lagi masuk di kabinet. Masih ada Subroto, Emil Salim, Ali Wardhana, JB Sumarlin, lalu Arifin Siregar, Radius Prawiro, Rahmat Saleh, lalu belakangan SB Joedono.

* * *

Kelompok kritik yang kedua mempermasalahkan dominasi kelompok teknokrat
seperti Mafia Berkeley dalam kebijakan publik. Selain itu, banyak kebijakan
yang diambil tidak transparan dan melalui sebuah perdebatan publik. Dengan
kata lain, adanya Mafia Berkeley mencederai demokrasi. Saya bukan ahli
politik, dan saya akui saya tidak punya cukup argumen akademis untuk
membahas soal ini.
Tapi ada dua tanggapan umum.

Pertama, soal transparansi pengambilan kebijakan. Saya kira, problemnya ada
pada keseluruhan proses pengambilan kebijakan di era Suharto. Tidak salah
jika dikatakan proses pengambilan kebijakan ekonomi saat itu tidak
transparan. Demikian halnya kebijakan hukum, politik (ingat lima UU
politik), sensor buku, media dan film, hingga berbagai keputusan terkait
IPTN, mobil nasional dan sebagainya. Lalu apa yang membuat Mafia Berkeley
dan kebijakan ekonomi jadi lebih tidak demokratis dibanding lainnya?

Kedua, soal dominasi Mafia Berkeley dalam kebijakan. Hal ini sesungguhnya
masih sangat diperdebatkan. Benarkah Mafia Berkeley demikian berkuasanya
menentukan arah kebijakan? Pada akhirnya Widjojo dkk. tetap hanya salah
satu dari sejumlah ‘aktor’ yang berkompetisi atas pengaruh.

Bahkan dalam bidang ekonomi, ada banyak kasus yang menunjukkan bahwa peran
Widjojo dkk. tetap terbatas. Meski menggunakan ekonomi sebagai fondasi
untuk mendapatkan legitimasi, negara Orde Baru punya logika sendiri. Dan
ini justru menunjukkan bahwa dominasi Widjojo dkk. dalam mempengaruhi
kebijakan Suharto tidak sebesar dan sedominan yang banyak digambarkan.

Ada ruang-ruang dimana Widjojo dkk. tetap tidak bisa mempengaruhi Suharto.
Contohnya adalah mismanajemen penggunaan penerimaan negara dari rejeki
minyak tahun yang berujung pada krisis Pertamina tahun ‘70an. Uang yang
berlimpah mendorong Pertamina melakukan ekspansi berlebihan ke kegiatan
yang ada di luar bisnis intinya, seperti membangun hotel, perusahaan
penerbangan dan sebagainya.

Pertamina saat itu adalah sebuah ‘negara di dalam negara’ yang dikuasai
oleh klik di luar Mafia Berkeley. Contoh lain adalah proteksi terhadap
industri terigu yang diberikan hingga bertahun-tahun adalah contoh lain.
Pemegang monopoli terigu adalah kelompok usaha Salim yang dekat dengan
Suharto.

Beberapa kali Widjojo dkk. meminta Suharto untuk menghapus monopoli terigu,
karena konsumen yang kebanyakan penduduk miskin akan diuntungkan dengan
harga terigu yang lebih murah. Tapi usaha ini selalu kandas, bahkan hingga
era ’90an saat SB Joedono menjabat Menteri Perdagangan.

Peran kelompok Widjojo dkk. juga makin turun memasuki ‘90an, ketika
percaturan politik-ekonomi juga berubah. Di sisi bisnis, liberalisasi
membuat posisi kelompok pengusaha relatif terhadap penguasa makin besar.

Selain itu banyak juga kelompok-kelompok bisnis baru – termasuk putra-putri
Suharto yang sudah beranjak dewasa – dengan kepentingan yang beragam. Dan
seringkali kepentingan mereka tidak sejalan dengan gagasan liberalisasi
ekonomi. Jadi ironis karena liberalisasi tahap awal memberi ruang buat
swasta untuk lebih berperan. Tapi ketika mereka mendapat tempat, mereka
melobi kekuasaan untuk mengurangi liberalisasi ekonomi.

Di sisi politik, pola patron-clientship makin kompleks dan dinamis. Banyak
kelompok baru yang berkompetisi untuk mendapatkan akses ke Suharto.
Termasuk kelompok teknolog yang mengusung ide tentang kebijakan ekonomi
yang lebih ‘nasionalis’ (baca: inward-looking dan proteksionis) .

Meski posisi kunci bidang ekonomi masih dipegang oleh Mafia Berkeley (dalam
arti lebih luas), pengaruh mereka secara umum makin turun. Di saat yang
sama, Suharto juga merasa perlu merangkul aliansi dengan kelompok teknolog
serta Islam. Peran kapitalis kroni juga makin besar, terutama yang
melibatkan putra-putri Suharto.

Hasilnya adalah periode ‘90an yang ambivalen. Liberalisasi ekonomi tetap
berlanjut, dengan bergabungnya Indonesia ke dalam WTO dan APEC serta
sejumlah deregulasi investasi. Di saat yang sama kita juga melihat berbagai
kebijakan yang proteksionis dan inward-looking seperti subsidi untuk IPTN
yang diambil bukan hanya dari APBN tapi dari dana non-budgeter, tata niaga
cengkeh dan jeruk (yang diberikan pada Tommy Suharto dan Tutut), serta
proyek mobil nasional (lagi-lagi Tommy).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar