Kamis, 15 Maret 2012

In Memorian, The Don. (bag.1)

*Oleh: Ari Perdana*)
*Bagian I: Sang ‘Don’
*
Ia duduk di kursi roda sambil menyalami setiap tamu yang datang. Tubuh tuanya memang tidak memungkinkannya lagi berdiri lama, dan bergerak ke sana-sini tanpa kursi roda. Tapi  kemampuannya berbicara di depan umum selama satu jam lebih, dengan artikulasi yang jelas dan alur pikiran yang runut menunjukkan bahwa kerentaan fisik tidak menyebabkan penurunan
kemampuan otaknya.
Hari itu Prof. Widjojo Nitisastro kembali tampil di muka publik, di acara peluncuran bukunya berjudul Pengalaman Pembangunan Indonesia: Kumpulan Tulisan dan Uraian Widjojo Nitisastro. Buku lain yang juga diluncurkan hari itu adalah Esai dari 27 Negara tentang Widjojo Nitisastro. Penghargaan dari Para Tokoh, suntingan Prof. Arsjad Anwar, Prof. Aris Ananta dan Dr. Ari Kuncoro. Acara itu juga menjadi semacam reuni lintas generasi sejumlah ekonom Indonesia; kolega, asisten, murid hingga muridnya murid Widjojo. Hadir di acara itu antara lain Prof. Emil Salim, Prof. JB Sumarlin dan Prof. Subroto – beberapa yang masih tersisa dari generasi pertama ‘Mafia Berkeley.’
Mafia Berkeley. Sebutan ini sudah melegenda. Pertama kali dicetuskan oleh seorang aktifis-penulis ‘kiri’ AS, David Ransom dalam sebuah artikel Rampart edisi 4 tahun 1970. Rampartadalah sebuah majalah yang awalnya terbit sebagai media literatur kelompok Katolik, tapi belakangan menjadi media kelompok ‘kiri baru.’ Majalah ini sendiri berhenti terbit tahun 1975. Saya terus terang masih belum bisa mendapatkan akses ke artikel yang ditulis Ransom. Tapi dari sejumlah literatur sekunder yang mencantumkannya sebagai referensi, di situ Ransom menghubungkan Mafia Berkeley dengan proyek AS (terutama CIA) untuk menggulingkan Sukarno, melenyapkan pengaruh komunis di Indonesia, mendudukkan Suharto di kekuasaan untuk menjalankan kebijakan politik dan ekonomi yang berorientasi pada Barat, hingga mengaitkan Widjojo dkk. dengan pembantaian massal eks PKI di akhir dekade ‘60an.
Saya bukan ahli sejarah yang bisa memberikan pendapat akademik mengenai kebenaran ‘teori’ ini. Sejumlah hal yang dikemukakan di situ adalah fakta. Adalah fakta bahwa antara pertengahan 1950an hingga awal 1970an, sejumlah pengajar lulusan FEUI menjalani studi di University of California, Berkeley, atas biaya Ford Foundation. Adalah fakta bahwa itu terjadi di era perang dingin yang berlangsung hingga awal 1990an, dimana baik kubu AS/Barat dan Uni Soviet/Komunis sama-sama bertarung dalam merebut pengaruh di seluruh Negara di dunia. Para sejarawan juga setuju bahwa CIA memainkan peran yang signifikan dalam kejatuhan Sukarno. Dan meski banyak pihak masih berdebat soal berapa jumlah korban pembunuhan massal pasca-G30S, adanya pembunuhan massal itu tidak lagi menjadi hal yang bisa disangkal. Tapi bahwa berbagai hal itu benar terjadi pada kurun waktu yang berdekatan tidak lantas membuat semuanya bisa disimpulkan sebagai berhubungan, apalagi berhubungan sebab-akibat. Apalagi, seperti implikasi yang coba dibangun oleh Ransom, menyimpulkan bahwa ada hubungan sebab-akibat antara tampilnya Mafia Berkeley sebagai arsitek ekonomi Orde Baru dengan pembantaian massal eks-PKI.
Lepas dari itu, istilah Mafia Berkeley sudah jadi sebuah nomenklatur klasik dalam sejarah Indonesia. Kebanyakan digunakan secara peyoratif, menganggap bahwa Mafia Berkeley memang benar-benar sebuah organisasi kriminal dengan struktur dan kode etik tertentu bak novel The Godfather karya Mario Puzo. Orang-orang seperti Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli, yang sempat menangani tim ekonomi Indonesia pasca Suharto, menganggap Mafia Berkeley sedemikan berpengaruhnya sehingga orang-orang seperti mereka yang datang dari luar lingkaran Mafia tidak pernah bisa ‘tenang’ menjalankan peran mereka karena selalu ‘digoyang.’ Kwik dan Rizal Ramli juga tidak pernah bosan menyalahkan Mafia Berkeley atas berbagai masalah ekonomi Indonesia yang mereka hadapi ketika menjabat menteri, meskipun orang-orang yang disebut sebagai Mafia ini sudah bertahun-tahun pensiun. (Saya kira ini justru bentuk ketidakpercayaan diri serta keengganan untuk mengakui terbatasnya kemampuan mereka dari orang-orang seperti Kwik dan Rizal).
Banyak juga yang secara salah kaprah mengidentikkan Mafia Berkeley sebagai kelompok pengusung dan pengadvokasi pasar bebas alias ekonomi laissez-faires dan peran pemerintah yang seminim mungkin. Pendapat ini tidak salah, tapi tidak sepenuhnya benar. Saya akan diskusikan hal ini lebih di bagian berikut.
Istilah Mafia Berkeley sudah telanjur melekat. Prof. Widjojo, Emil Salim dan lainnya juga agaknya tidak terlalu ambil pusing dengan istilah ini. Saya kira istilah itu memang tidak perlu ditolak. Justru sebutan ‘mafia’ kepada Prof. Widjojo dkk. – dengan ‘Don Widjojo’ sebagai kepala keluarga, alm. Prof. Sadli sebagai consigliere, Prof. Emil Salim dan lainnya sebagai paracaporegime – menggambarkan satu hal: sebuah kelompok teknokrat yang diikat oleh kesamaan visi, komitmen, chemistry serta trust. Ini semua yang membuat komunikasi, koordinasi dan kerjasama di antara mereka dalam mengeluarkan kebijakan ekonomi bisa berjalan efektif. Satu hal yang belum bisa kita temukan lagi sekarang. Apalagi di dalam sebuah kabinet yang disusun atas dasar terlalu banyak deal politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar