Kamis, 15 Maret 2012

In Memorian, The Don (bag.2).

*Oleh: Ari Perdana*)
*Bagian II: Perencanaan atau Pasar?*

Nama Widjojo dkk. – para mafia dari Berkeley – seringkali disebut dalam satu paragraf yang sama dengan kata-kata ‘pasar bebas’, ‘ekonomi liberal’ dan semacamnya. Betul, di bawah Widjojo dkk. ekonomi Indonesia mengalami beberapa episode liberalisasi (sebagai catatan, Suharto juga tidak suka dengan istilah ‘liberal’, maka terminologi yang saat itu digunakan adalah ‘deregulasi’). Tapi dalam tipologi aliran-aliran dalam ilmu ekonomi, paradigma dan kebijakan ekonomi yang dijalankan oleh Mafia Berkeley bukan berada di spektrum yang lebih dekat ke Hayek-Friedman. Sebaliknya, Widjojo dkk. justru lebih memiliki karakter ‘dirigista’ – dimana perencanaan pembangunan dan peran pemerintah adalah faktor yang penting.

Itu tentu tidak terpisahkan dari konteks sejarah. Ketika Widjojo pergi ke Berkeley, 1957-1961, Keynesian adalah paradigma ekonomi yang dominan saat itu. ‘Revolusi neoklasik’ yang dicetuskan oleh Milton Friedman dan kelompok Chicago baru terjadi di tataran pemikiran menjelang akhir ‘60an. Pengaruhnya dalam orientasi kebijakan baru akan terjadi setelah krisis
minyak dan sejumlah episode hiperinflasi di pertengahan ‘70an.

Departemen Ekonomi di Berkeley sendiri punya tradisi yang lebih dekat ke Keynesian ketimbang neoklasik. Kelak, di awal ‘70an hingga akhir ‘80an, paradigma riset dan pengajaran ilmu ekonomi – khususnya ekonomi makro – di universitas- universitas terbelah menjadi dua kubu. Satu kubu lebih melihat pentingnya kebijakan dalam stabilisasi ekonomi. Paradigma ini dianut oleh universitas- universitas yang lokasinya di pantai: Harvard, MIT, Yale, Princeton, NYU atau Pennsylvania di Pantai Timur serta Stanford, Berkeley dan UCLA di Pantai Barat. Kubu lain adalah yang mengedepankan analisis di tingkat individu yang rasional, ketidakpastian serta inter-temporal. Kubu ini lebih skeptis terhadap peran pemerintah. Penganutnya adalah universitas- universitas yang lebih dekat ke Great Lakes: Chicago, Minnesota, Wisconsin, Rochester, Carnegie-Mellon dan lainnya. Dua kubu ini sering juga dirujuk sebagai kubu ‘air asin’ (saltwater) dan ‘air tawar’ (freshwater) .

Di Berkeley, Widjojo dkk. lebih spesifik menekuni cabang ekonomi pembangunan. Sub-disiplin ekonomi pembangunan saat itu belum seberagam sekarang. Kebanyakan literatur masih fokus pada teori pertumbuhan. Pendekatan yang dominan adalah model kesenjangan tabungan-investasi, dan teori yang paling berpengaruh adalah Harrod-Domar (oleh Roy Harrod, 1939 dan Evsey Domar, 1946). Teori ini melihat bahwa satu faktor utama bagi sebuah negara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah investasi. Karya Robert Solow yang kemudian menjadi teori pertumbuhan paling banyak dirujuk – dan dalam banyak hal menunjukkan kelemahan teori Harrod-Domar – baru terbit tahun 1956, dan perlu beberapa tahun sebelum teori itu cukup berpengaruh.

#####

Selain Harrod dan Domar, literatur lain yang cukup berpengaruh di periode itu adalah karya Walt Rostow, Stages of Growth: a Non-Communist Manifesto, yang terbit di tahun 1960, menjelang Widjojo menyelesaikan studi. Rostow menulis, ada lima tahapan modernisasi, dari masyarakat tradisional, persiapan tinggal landas, periode tinggal landas, tahap menuju kematangan, dan era konsumsi massal. Akumulasi investasi adalah kunci bagi sebuah negara untuk bisa pindah dari satu tahap ke tahap lainnya.

Tentu saya tidak mengatakan bahwa Widjojo dkk. hanya membaca Keynes, Harrod-Domar dan Rostow. Poin saya adalah pemikiran dan implementasi kebijakan ekonomi Widjojo dkk. tentu tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah. Spesifiknya, seperti apa perkembangan dan dinamika ilmu ekonomi di waktu dan lingkungan saat itu.

Saya juga tidak mengatakan bahwa Widjojo dkk. adalah antipasar. Sebaliknya, sebagai ekonom yang taat pada pemikiran rasionalitas, buat Widjojo dkk. proses pembangunan ekonomi dan alokasi sumber daya melalui mekanisme pasar atau perencanaan adalah semata-mata pilihan. Seperti Widjojo menuliskan dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Ekonomi (1963), dan dimuat ulang dalam buku Pengalaman Pembangunan Indonesia halaman 10:

Suatu masyarakat yang sedang membangun dapat mengambil keputusan tersebut secara implisit dengan menyerahkannya kepada berbagai kekuatan ekonomi yang terdapat dalam masyarakat tersebut. Akan tetapi, masyarakat yang bersangkutan dapat pula mengadakan pilihan secara sadar dan berencana.

Dalam hal yang akhir ini terdapatlah suatu usaha pembangunan berencana yang salah satu aktivitas pokoknya berbentuk perencanaan pembangunan. Perencanaan ini pada asasnya berkisar kepada dua hal: yang pertama ialah penentuhan pilihan secara sadar mengenai berbagai tujuan konkret yang hendak dicapai … dan yang kedua ialah pilihan di antara cara-cara alternatif yang efisien serta rasional guna mencapai berbagai tujuan tersebut.

Implementasi dari perencanaan pembangunan versi Widjojo dkk. terlihat dari berbagai hal: Pembangunan Jangka Panjang (PJP), Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita – yang melewati usia sekolah di era Orde Baru tentu bisa melihat kemiripan antara tahap-tahap yang dikemukakan Rostow dan tujuan tiap Repelita serta Pembangunan Jangka Panjang), serta adanya institusi seperti Bappenas atau Bulog, serta program Keluarga Berencana (Widjojo juga seorang demografer, disertasinya tentang tren populasi Indonesia).

Di mana peran mekanisme pasar? Mengutip istilah Prof. Emil Salim, kebijakan ekonomi yang mereka jalankan bisa disebut sebagai planning through market. Artinya, sebagai perencana, pemerintah menetapkan sejumlah tujuan jangka panjang dan jangka pendek. Pemerintah bisa menetapkan tujuan, dan dalam beberapa hal bisa secara aktif memastikan agar tujuan-tujuan itu bisa tercapai.

Contohnya, target inflasi adalah sekian persen. Pemerintah bisa mengusahakan agar tujuan itu tercapai dengan, misalnya, mengontrol harga pangan lewat Bulog (kelompok pangan, terutama beras, adalah penyumbang utama inflasi). Tapi harga beras tetap merupakan hasil dari interaksi permintaan dan penawaran. Pemerintah tidak bisa sepenuhnya mengontrol permintaan (konsumen) dan penawaran (petani, pemilik beras yang diproduksi). Pemerintah memang bisa memberikan insentif buat petani untuk meningkatkan produksi. Namun usaha pemerintah tetap tunduk pada hukum penawaran dan permintaan.

Saya sendiri melihatnya sebagai market through planning. Teori ekonomi mengajarkan bahwa alokasi sumber daya yang terjadi lewat mekanisme pasar adalah kondisi ideal. Tapi kondisi itu menyaratkan sejumlah hal, terutama bahwa pasar eksis dan bekerja sempurna. Di akhir ‘60an dan awal ‘70an, jangankan berkerja sempurna – banyak pasar bahkan tidak eksis (pasar saham dan surat berharga adalah satu contoh). Sejumlah institusi dan infrastruktur yang menjadi prasyarat bagi mekanisme pasar harus dibentuk dulu.

Ini menjadikan hubungan antara frase ‘Mafia Berkeley’ dan ‘ekonomi pasar’ adalah sesuatu yang kompleks. Kita perlu memahami sejumlah konteks – mulai dari spektrum yang ada dalam ilmu ekonomi soal pasar dan peran pemerintah, hingga kebijakan seperti apa yang dijalankan oleh tim ekonomi yang digawangi oleh Widjojo dkk, termasuk kondisi seperti apa yang melatarbelakangi kebijakan itu diambil.

Satu hal, Widjojo dkk. berangkat dari tradisi ilmu ekonomi yang berbeda dengan aliran Chicago. Pemahaman ini jadi penting karena di masa sekarang, banyak yang menempatkan frase ‘neoliberalisme’ dengan ‘Milton Friedman’ dan ‘Mafia Berkeley’ dalam satu paragraf, bahkan kalimat, yang sama. Ini menunjukkan betapa seringnya jargon neoliberalisme digunakan tanpa kredibilitas. Tapi, buat saya, apa yang dilakukan Widjojo dkk. adalah meletakkan fondasi bagi mekanisme pasar untuk bisa eksis dan bekerja dalam ekonomi Indonesia.

Terlepas dari soal mekanisme pasar, ada satu hal lebih mendasar yang diperkenalkan oleh Widjojo Nitisastro dalam konteks kebijakan ekonomi di Indonesia: logika ekonomi. Kalimat di atas mungkin terkesan lucu. Tapi itulah kondisi yang terjadi di tahun-tahun terakhir kekuasaan Sukarno. Persoalan ekonomi “dibiarkan terbengkalai, dianggap soal kecil ataupun bukan soal.” Sementara itu, “prinsip-prinsip ekonomi yang bersumber pada pikiran rasional diangap tidak perlu” (hal. 47-48, aslinya merupakan uraian Widjojo sebagai moderator bidang ekonomi pada Simposium ‘Menjelajah Tracee Baru’ di UI, 6-9 Mei 1966).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar