Kamis, 15 Maret 2012

In Memorian, The Don (bag.5).

*Oleh: Ari Perdana*)

*Bagian V: Penutup*

Terlalu banyak yang bisa ditulis tentang Widjojo Nitisastro dan Mafia
Berkeley.
Tapi di bagian penutup ini saya hanya ingin mengangkat tiga hal.

Pertama, apakah keberadaan Mafia Berkeley dalam sejarah politik-ekonomi di
Indonesia adalah sesuatu yang by design? Saya selalu punya masalah dengan
pandangan serba konspiratif yang melihat bahwa segala sesuatu adalah hasil
dari sebuah desain besar, dan semua individu adalah instrumen dari sebuah
kepentingan. Tidak ada ruang bagi independensi individu dalam kerangka
berpikir demikian. Tidakkah dunia jadi menjemukan kalau begitu?

Tentu kita tidak bisa menampik bahwa pemerintah AS punya kepentingan dengan
membiayai sejumlah akademisi Indonesia untuk belajar di negeri mereka.
Pemerintah Uni Soviet juga memberikan beasiswa untuk banyak pelajar
Indonesia ke Moskow dan Jerman Timur di periode yang kurang lebih sama.
Semua pihak di era perang dingin punya kepentingan, dan saling bertarung
untuk merebut pengaruh di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Semata-mata demi argumen – jika benar Mafia Berkeley adalah bagian dari
proyek AS di era perang dingin, mengapa AS berhasil, sementara Uni Soviet
atau RRC gagal? Jika Sukarno begitu dicintai, mengapa ia tidak berhasil
membuat seluruh rakyat berpihak padanya di sekitar 1966?
Jika ide-ide besar
komunisme (PKI) begitu menarik, kenapa itu tidak cukup? Jawaban yang saya
ajukan adalah karena ide-ide besar itu tidak sejalan dengan kondisi ekonomi
yang baik. Bahkan, cara Sukarno merealisasikan ide-ide besarnya membuat
situasi ekonomi lebih buruk.

Dengan kata lain, Mafia Berkeley adalah salah satu dari beberapa multiple
equilibrium. Benar, ada kepentingan di sana. Tapi kepentingan saja tidak
akan cukup jika kondisi ekonomi dalam negeri saat itu masih cukup baik.
Kepentingan dan krisis ekonomi saja tidak cukup jika Widjojo dkk. tidak
punya visi, gagasan tentang perbaikan ekonomi serta kemampuan untuk
menjalankan gagasan itu.

Kedua, seberapa besar dominasi Mafia Berkeley dalam menentukan keputusan
akhir kebijakan ekonomi di Indonesia? Dari uraian di atas, saya menunjukkan
bahwa Widjojo dkk. bukanlah kelompok teknokrat yang punya cek kosong atas
semua kebijakan pemerintah. Dalam sejumlah hal, Widjojo dkk. memang bisa
meyakinkan Suharto untuk menjalankan kebijakan yang sesuai dengan gagasan
mereka (lihat kisah waktu Widjojo meyakinkan Suharto untuk mendevaluasi
Rupiah di tahun 1986, padahal setahun sebelumnya Suharto baru mengumumkan
bahwa tidak akan ada lagi devaluasi di bab 17). Tapi ada ruang-ruang dimana
Suharto tidak mau menegosiasikan posisinya pada Widjojo dkk. Ketika ini
terjadi, keputusan akhir tetap ada pada Suharto.

Dalam jargon akademis, ini menunjukkan bahwa hipotesis ’negara teknokratis’
dan ’negara komprador’ (Robison 1986) tidak sepenuhnya terbukti. Orde Baru
lebih menunjukkan pola ’negara patrimonial’ (Anderson 1983), dimana Suharto
memosisikan diri sebagai pusat kekuasaan. Di akhir ’80-an dan ’90an,
lansekap politik-ekonomi menunjukkan pola ’pluralisme terbatas’ (Liddle
1991, senada dengan MacIntyre 1990 meski istilah pluralisme terbatas
dicetuskan oleh Liddle).

Ketiga, bagaimana melihat relevansi model Mafia Berkeley dalam konteks
sekarang?
Banyak yang berpendapat, kebijakan publik sebaiknya tidak diserahkan pada
satu kelompok teknokrat. Saya tentu lebih suka jika pengambilan kebijkan
ekonomi lebih ditentukan oleh sistem ketimbang individu atau kelompok.

Tapi secara pribadi saya merasa Indonesia beruntung mendapatkan Widjojo
dkk. di tahun 1967 yang membawa economic inner logic ke dalam kebijakan.
Seperti halnya Indonesia beruntung mendapatkan ekonom-ekonom seperti
Boediono, Sri Mulyani, Mari Pangestu, Armida Alisjahbana, juga Chatib
Basri, Anggito Abimanyu, Moh. Ikshan atau Raden Pardede, yang menjaga
economic inner logic di pemerintahan sekarang.

Di sisi lain, mereplikasi model Mafia Berkeley juga tidak mudah. Stok
ekonom generasi sekarang datang dari universitas yang beragam. Bahkan yang
punya latar belakang sama, misalnya lulusan FEUI (karena hanya itu yang
bisa saya jadikan contoh), ada perspektif yang cukup plural dalam memandang
kebijakan ekonomi seperti apa yang harus diambil, dan bagaimana.
Ada lowest
common denominator yang dipercaya bersama. Tapi lowest common denominator
ini pun makin kecil.

Meski demikian, pengalaman Widjojo dkk. menunjukkan bahwa – sekali lagi –
kesamaan visi, komitmen, chemistry serta trust di antara pembuat kebijakan
adalah variabel penting dalam pengambilan kebijakan. Itu yang selalu saya
ingat ketika istilah ‘Mafia Berkeley’ ada dalam benak saya.
(SELESAI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar