Jumat, 30 Maret 2012

Ini Dia, Cara Murah ke Raja Ampat! Oleh: Sri Anindiati Nursastri - detikTravel Jum'at, 30/03/2012 16:41:38 WIB

Keindahan Raja Ampat pasti sudah lekat di benak Anda. Sayangnya, butuh uang yang tak sedikit untuk menyaksikan langsung pesona kepulauan ini. Tapi, Anda bisa menyiasati beberapa hal agar bisa ke sana dengan bujet minim!
Waktu Raja Ampat baru terkenal, para traveler menghabiskan belasan hingga puluhan juta untuk bisa menikmati alamnya yang elok. Seiring berjalannya waktu, para traveler menjadi lebih "pintar" dalam mencari cara agar keindahan kepulauan di Papua Barat itu bisa dinikmati langsung.

Hal pertama yang harus diingat adalah semakin banyak orang yang ikut, semakin minim pengeluaran. Hal ini karena mayoritas sarana transportasi yang digunakan di Raja Ampat adalah sewaan, mulai dari mobil hingga perahu untuk berkeliling. Jadi, bawalah "awak" sebanyak-banyaknya!

Untuk mencapai Raja Ampat dari Jakarta, ada tiga alternatif. Pertama, menggunakan kapal PELNI (Rp 700.000-800.000/orang, sekali jalan). Paling murah, tapi perjalanannya paling lama. 5 Hari 4 malam hingga tiba di Kota Sorong.

Alternatif kedua adalah membeli tiket promo penerbangan langsung ke Sorong. Maskapai Sriwijaya misalnya, pernah memberi promo Buy 1 Get 1 Free. Ini berlaku untuk dua orang, dengan hanya Rp 1 juta per orang. Tinggal dikali dua untuk ongkos pulang-pergi.

Opsi ketiga adalah melakukan penerbangan (promo tentunya) dari Jakarta ke Ambon, lalu lanjut dengan kapal PELNI dari Ambon-Sorong. Tapi siap-siap saja, karena kapal PELNI ini hanya mampir sekitar 1 minggu sekali.

Di Sorong, Anda bisa menyewa taksi isi 5 orang (sekitar Rp 50.000-70.000 sekali jalan) menuju Pelabuhan Rakyat. Sebelum naik kapal menuju Waisai (ibukota Raja Ampat), Anda sebaiknya membeli perbekalan terlebih dahulu. Air minum yang banyak, juga makanan instan seperti mie. Harga bahan makanan di Sorong lebih murah dari pada Raja Ampat.

Ada dua kapal dengan rute Sorong-Waisai, keduanya berangkat tiap pukul 14.00 WIT. Pertama adalah kapal fiber (Rp 120.000/orang, 3 jam perjalanan). Lebih murah jika menggunakan kapal kayu (sekitar Rp 70.000/orang, sekitar 5-6 jam tergantung besarnya ombak).

Dari pelabuhan Waisai, Anda bisa menggunakan jasa ojek untuk mencari penginapan di kotanya (sekitar Rp 20.000, 15 menit perjalanan). Tapi sebelum check in, Anda harus mendatangi kantor Depbudpar setempat. Tiap wisatawan yang masuk ke wilayah Raja Ampat dikenakan biaya konservasi sebesar Rp 200.000 (turis domestik) dan Rp 500.000 (turis mancanegara).

Penginapan paling murah di Waisai dipatok Rp 200.000/kamar/malam. Jika ingin lebih hemat, Anda bisa melakukan "pendekatan" dengan warga lokal dan menginap dengan imbalan makanan atau uang. Ingin lebih hemat lagi? Gelarlah tenda di pesisir pantainya!

Jika ingin mengeksplorasi Raja Ampat keesokan harinya, bangunlah pukul 04.00 WIT. Bertolaklah ke Pasar Waisai, dan lihatlah jajaran perahu (orang lokal menyebutnya "long boat") yang bisa disewa lewat tawar-menawar dengan nelayan. Harganya sekitar Rp 2 juta (termasuk kapal dan nelayan itu sendiri sebagai pengemudi), namun belum termasuk BBM. Harga BBM itu sendiri Rp 10.000/liter.

Wayag adalah tujuan favorit para traveler. Inilah ikon Raja Ampat yang biasa Anda lihat di layar kaca, berupa lautan biru tua yang dihiasi gunung-gunung kecil berwarna hijau. Sebelum melakukan perjalanan ke tempat ini, sebaiknya bawalah banyak makanan dan minuman. Karena sepanjang jalan, bahan makanan hanya bisa ditemukan di dive resorts yang tentunya dibandrol lebih mahal.

Untuk mencapai Wayag diperlukan sekitar 400 liter bensin. Dengan kata lain, total pengeluaran long boat dengan rute Waisai-Wayag-Waisai adalah Rp 7 juta. Tapi tenang saja, 1 long boat bisa diisi hingga 14 orang. Alias, Anda hanya mengeluarkan Rp 500.000 untuk perjalanan lebih dari 12 jam.

Jarak tempuh yang jauh ini bukannya tanpa arti. Di sepanjang jalan, Anda bisa singgah ke beberapa titik snorkeling seperti Five Rocks dan Teluk Kabui. Jika ingin melakukan diving sebaiknya Anda menggunakan agen penyelaman di Waisai, salah satunya Waiwo Dive Resort. Sekali penyelaman minimal Rp 400.000/orang.

Tiba di Wayag, Anda harus melapor terlebih dahulu ke kantor konservasi laut setempat. Nelayan sudah mengetahui betul hal ini, sehingga Anda hanya perlu mengingatkannya saja. Nelayan juga mengetahui titik-titik favorit para traveler ketika berkunjung ke Wayag yang indahnya memesona ini.

Jika Anda berangkat 4 orang selama 3 hari 2 malam, seluruh hal di atas akan menghabiskan sekitar Rp 4,7 juta saja. Apalagi jika anggota rombongan lebih dari 5, atau mungkin 10 jika Anda mengajak keluarga dan teman terdekat. Nah, tunggu apa lagi? Raja Ampat di depan mata!

Senin, 26 Maret 2012

Prasangka & Kehinaan

*******Ketika 'mata hati' sudah tertutup oleh prasangka maka hati menjadi buta, tuli, betul-betul tidak sanggup menolak kenyataan, segalanya dicocokkan dengan apa yang di su'udzoni.

#######Sesungguhnya tidak berbahaya penghinaan orang lain karena yang pasti berbahaya untuk kita adalah sikap kita yang menghina diri sendiri dengan kebiasaan menghina orang lain.

Rabu, 21 Maret 2012

Karena Kami Cinta Bumi Pertiwi

 ♥•♫♥♥Bapak Presiden, kami marah bukan karena benci. Kami marah karena cinta. Cinta yang kepalang besar bagi pertiwi yang tanahnya sudah kami injak puluhan tahun, yang udaranya kami hirup setiap hari, yang hasil buminya memberi makan mulut-mulut kami.Prihatin tak lagi cukup, Bapak. Beragam janji dan instruksi tidak lagi mampu membungkam mulut kami, karena kami sudah kenyang dengan janji. Kami lelah menunggu tanpa daya. Kami letih menonton tanpa bisa berbuat apa-apa.Kami ingin pajak yang kami bayarkan digunakan untuk sebaik-baiknya kepentingan rakyat dan pembangunan negara, karena sekalipun kami hidup berkecukupan, jutaan penduduk Indonesia belum menikmati kehidupan yang layak. Sudah cukup kami merasa pedih melihat uang hasil jerih payah kami digunakan untuk plesiran anggota dewan yang terhormat, sementara jutaan rakyat miskin makan nasi yang sudah kotor setiap hari.

Bapak, tolong dengarkan kami. Lakukan sesuatu. Bertindaklah agar kami tahu orang yang kami pilih memang layak mengemban kepercayaan kami.

Kami tak minta banyak, sungguh. Jangan bilang itu terlalu sulit.

Kamis, 15 Maret 2012

In Memorian, The Don (bag.5).

*Oleh: Ari Perdana*)

*Bagian V: Penutup*

Terlalu banyak yang bisa ditulis tentang Widjojo Nitisastro dan Mafia
Berkeley.
Tapi di bagian penutup ini saya hanya ingin mengangkat tiga hal.

Pertama, apakah keberadaan Mafia Berkeley dalam sejarah politik-ekonomi di
Indonesia adalah sesuatu yang by design? Saya selalu punya masalah dengan
pandangan serba konspiratif yang melihat bahwa segala sesuatu adalah hasil
dari sebuah desain besar, dan semua individu adalah instrumen dari sebuah
kepentingan. Tidak ada ruang bagi independensi individu dalam kerangka
berpikir demikian. Tidakkah dunia jadi menjemukan kalau begitu?

Tentu kita tidak bisa menampik bahwa pemerintah AS punya kepentingan dengan
membiayai sejumlah akademisi Indonesia untuk belajar di negeri mereka.
Pemerintah Uni Soviet juga memberikan beasiswa untuk banyak pelajar
Indonesia ke Moskow dan Jerman Timur di periode yang kurang lebih sama.
Semua pihak di era perang dingin punya kepentingan, dan saling bertarung
untuk merebut pengaruh di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Semata-mata demi argumen – jika benar Mafia Berkeley adalah bagian dari
proyek AS di era perang dingin, mengapa AS berhasil, sementara Uni Soviet
atau RRC gagal? Jika Sukarno begitu dicintai, mengapa ia tidak berhasil
membuat seluruh rakyat berpihak padanya di sekitar 1966?
Jika ide-ide besar
komunisme (PKI) begitu menarik, kenapa itu tidak cukup? Jawaban yang saya
ajukan adalah karena ide-ide besar itu tidak sejalan dengan kondisi ekonomi
yang baik. Bahkan, cara Sukarno merealisasikan ide-ide besarnya membuat
situasi ekonomi lebih buruk.

Dengan kata lain, Mafia Berkeley adalah salah satu dari beberapa multiple
equilibrium. Benar, ada kepentingan di sana. Tapi kepentingan saja tidak
akan cukup jika kondisi ekonomi dalam negeri saat itu masih cukup baik.
Kepentingan dan krisis ekonomi saja tidak cukup jika Widjojo dkk. tidak
punya visi, gagasan tentang perbaikan ekonomi serta kemampuan untuk
menjalankan gagasan itu.

Kedua, seberapa besar dominasi Mafia Berkeley dalam menentukan keputusan
akhir kebijakan ekonomi di Indonesia? Dari uraian di atas, saya menunjukkan
bahwa Widjojo dkk. bukanlah kelompok teknokrat yang punya cek kosong atas
semua kebijakan pemerintah. Dalam sejumlah hal, Widjojo dkk. memang bisa
meyakinkan Suharto untuk menjalankan kebijakan yang sesuai dengan gagasan
mereka (lihat kisah waktu Widjojo meyakinkan Suharto untuk mendevaluasi
Rupiah di tahun 1986, padahal setahun sebelumnya Suharto baru mengumumkan
bahwa tidak akan ada lagi devaluasi di bab 17). Tapi ada ruang-ruang dimana
Suharto tidak mau menegosiasikan posisinya pada Widjojo dkk. Ketika ini
terjadi, keputusan akhir tetap ada pada Suharto.

Dalam jargon akademis, ini menunjukkan bahwa hipotesis ’negara teknokratis’
dan ’negara komprador’ (Robison 1986) tidak sepenuhnya terbukti. Orde Baru
lebih menunjukkan pola ’negara patrimonial’ (Anderson 1983), dimana Suharto
memosisikan diri sebagai pusat kekuasaan. Di akhir ’80-an dan ’90an,
lansekap politik-ekonomi menunjukkan pola ’pluralisme terbatas’ (Liddle
1991, senada dengan MacIntyre 1990 meski istilah pluralisme terbatas
dicetuskan oleh Liddle).

Ketiga, bagaimana melihat relevansi model Mafia Berkeley dalam konteks
sekarang?
Banyak yang berpendapat, kebijakan publik sebaiknya tidak diserahkan pada
satu kelompok teknokrat. Saya tentu lebih suka jika pengambilan kebijkan
ekonomi lebih ditentukan oleh sistem ketimbang individu atau kelompok.

Tapi secara pribadi saya merasa Indonesia beruntung mendapatkan Widjojo
dkk. di tahun 1967 yang membawa economic inner logic ke dalam kebijakan.
Seperti halnya Indonesia beruntung mendapatkan ekonom-ekonom seperti
Boediono, Sri Mulyani, Mari Pangestu, Armida Alisjahbana, juga Chatib
Basri, Anggito Abimanyu, Moh. Ikshan atau Raden Pardede, yang menjaga
economic inner logic di pemerintahan sekarang.

Di sisi lain, mereplikasi model Mafia Berkeley juga tidak mudah. Stok
ekonom generasi sekarang datang dari universitas yang beragam. Bahkan yang
punya latar belakang sama, misalnya lulusan FEUI (karena hanya itu yang
bisa saya jadikan contoh), ada perspektif yang cukup plural dalam memandang
kebijakan ekonomi seperti apa yang harus diambil, dan bagaimana.
Ada lowest
common denominator yang dipercaya bersama. Tapi lowest common denominator
ini pun makin kecil.

Meski demikian, pengalaman Widjojo dkk. menunjukkan bahwa – sekali lagi –
kesamaan visi, komitmen, chemistry serta trust di antara pembuat kebijakan
adalah variabel penting dalam pengambilan kebijakan. Itu yang selalu saya
ingat ketika istilah ‘Mafia Berkeley’ ada dalam benak saya.
(SELESAI)

In Memorian, The Don (bag.4).

  *Oleh: Ari Perdana*)

*Bagian IV: Kritik*

Tulisan dan pandangan kritis terhadap Mafia Berkeley sudah tidak terhitung. Tentu kebijakan ekonomi Widjojo dkk, dan bagaimana proses pengambilan kebijakan dilakukan, bukan hal yang bebas kritik. Tapi kita juga tidak bisa melepaskan apa dan bagaimana kebijakan ekonomi yang diambil saat itu dengan kondisi obyektif yang saat itu. Ekonomi Indonesia dalam keadaan kacau,
negara nyaris bangkrut (bahkan tidak punya uang untuk membetulkan pagar Istana Negara).

Sementara itu stok akademisi yang punya latar belakang ekonomi tidak banyak. Widjojo dkk. sendiri pergi ke Berkeley untuk mengisi kebutuhan staf pengajar FEUI yang hingga akhir 1950an kebanyakan punya latar belakang ilmu hukum, bukan ekonomi. Dengan kata lain, ketika melontarkan kritik kita juga perlu bertanya beberapa hal: apa pilihan yang tersedia saat itu, dan seberapa feasible?
Apa trade-off kalau yang diambil adalah pilihan alternatif yang tersedia itu? Apa counterfactual yang akan terjadi?

Secara umum, ada dua hal besar yang jadi sasaran kritik: 1) paradigma dan esensi kebijakan ekonomi yang dianut oleh Widjojo dkk., dan 2) adanya dominasi sebuah kelompok teknokrat atas pengambilan kebijakan publik.

Kritik jenis pertama kebanyakan mempermasalahkan kebijakan ekonomi yang berorientasi pada sistem ekonomi pasar, pro-Barat, bertumpu pada hutang luar negeri, dan semacamnya. Saya justru menganggap Widjojo dkk. kurang propasar. Buat saya, kebijakan ekonomi Widjojo dkk. yang bersifat dirigista justru memberikan ruang yang terlalu besar buat negara dalam kegiatan ekonomi. Negara (pemerintah pusat) menjadi institusi yang terlalu besar, kuat dan berkuasa. Implikasinya, ini memberikan legitimasi yang begitu besar pada negara ketika kemajuan ekonomi bisa dicapai. Legitimasi dari kondisi ekonomi ini memberikan insentif bagi Orde Baru untuk bertindak tidak demokratis.

Tapi kemudian posisi kritik ini menjadi dilematis. Apakah jadinya Widjojo dkk. bersalah karena memberikan legitimasi pada Suharto lewat kemajuan ekonomi, dan legitimasi itu digunakan Suharto untuk bertindak tidak demokratis? Karena kalau ya, sama saja dengan mengatakan harusnya Widjojo dkk. tidak membuat kebijakan yang membawa perbaikan ekonomi. Tentu kondisi yang ideal adalah kalau kemajuan ekonomi bisa terjadi tanpa memberikan legitimasi yang besar bagi Suharto. Ini bisa terjadi jika dari awal perekonomian lebih bertumpu pada mekanisme pasar. Masalahnya, kondisi objektif saat itu memang tidak memberikan banyak pilihan.

Pemerintah mau tidak mau harus berperan besar di sebuah negara dimana fondasi dan infratruktur yang kokoh untuk ekonomi pasar belum tersedia, warisan dari orientasi kebijakan Orde Lama yang menempatkan politik sebagai panglima. Ini membuat kritik saya bahwa Widjojo dkk. sebagai kurang propasar menjadi tidak kontekstual.

Saya kira Widjojo dkk. saat itu punya gambaran bahwa ketika landasan kelembagaan sudah lebih kuat, perlahan-lahan dominasi negara akan dikurangi, dan mekanisme pasar akan lebih berperan sebagai mekanisme alokasi sumber daya lewat serangkaian deregulasi dan liberalisasi. Liberalisasi tahap pertama adalah liberalisasi neraca modal, sebagai bagian dari stabilisasi ekonomi antara 1966-1971.

Intinya, tujuan kebijakan ini adalah membuka capital account Indonesia supaya modal asing, baik dalam bentuk PMA atau pinjaman punya insentif untuk masuk. Ini adalah sebuah langkah yang sampai sekarang banyak dikritik. Satu kubu pengritik mengatakan, kebijakan ini sama dengan menjual bangsa Indonesia kepada modal asing.

Masalahnya, lagi-lagi ini persoalan pragmatis, bukan ideologis, sekaligus persoalan kontekstual. Banyak yang lupa, di tahun 1966-67, negara dalam keadaan nyaris bangkrut, dan inflasi meroket.
Sumber penerimaan domestik nyaris tidak ada, jangan dulu bicara penerimaan pajak.

Tidak mungkin membiayain anggaran dengan mencetak uang. Selama ini pemerintahan Sukarno mengandalkan hutang dari negara blok Komunis, yang setelah 1966 tidak lagi mau memberikan pinjaman. Sementara negara tetap perlu uang untuk membiayai pembangunan.

Saya tidak tahu, jika mereka yang mengritik kebijakan liberalisasi neraca modal dengan argumen nasionalisme dari kacamata sekarang berada dalam posisi Widjojo dkk. saat itu, kira-kira langkah apa yang akan mereka ambil. Dan persoalannya juga bukan berhutang atau tidak, karena kenyataannya pemerintahan Sukarno juga berhutang, dan hutangnya terus naik.

Saya pun pernah punya kritik terhadap kebijakan ini. Merujuk pada buku MacKinnon (1971), tahapan liberalisasi yang ideal adalah dimulai dari liberalisasi sektor riil, kemudian perdagangan, baru modal dan investasi. Yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Tapi, pada akhirnya ini adalah masalah apa yang ideal dalam buku teks dengan kenyataan. Bahwa liberalisasi di Indonesia dimulai dari neraca modal terjadi karena dorongan keadaan. Sekali lagi kritik saya pada Widjojo dkk. jadi kehilangan konteks sejarah.

* * *

Gagasan tentang liberalisasi ekonomi juga tidak serta-merta bisa diterapkan dalam bentuk kebijakan, meski Widjojo dkk. ada di posisi pengambil kebijakan. Di tahun ’70an, ketika kenaikan harga minyak menyebabkan kenaikan signifikan atas penerimaan pemerintah, negara punya sumber daya lebih besar untuk tidak tunduk pada prinsip-prinsip ekonomi pasar.

Di periode itu dibangun banyak proyek industri padat modal seperti
petrokimia, yang antara lain didorong oleh uang dari rejeki minyak. Ini bertentangan dengan economic inner logic karena kebijakan industri yang demikian tidak sejalan dengan teori keunggulan komparatif. Sebagai negara dengan banyak penduduk, keunggulan komparatif Indonesia adalah industri-industri padat karya.

Dan tujuan pembangunan lima tahun di periode awal adalah membangun industri yang menghasilkan barang jadi. ’Tanda tangan’ Mafia Berkeley tidak terlihat dalam orientasi kebijakan seperti ini. Widjojo tetap berusaha agar rejeki minyak bisa digunakan untuk pembiayaan pembangunan. Salah satunya adalah program SD Inpres, yang menjadi salah satu program pembangunan infrastruktur pendidikan dengan skala terbesar dalam sejarah pembangunan ekonomi negara-negara di dunia.

Liberalisasi tahap berikutnya baru bisa terjadi di awal dan pertengahan ‘80an. Itu pun karena dorongan keadaan: jatuhnya harga minyak. Pemerintah tidak lagi bisa mengandalkan penerimaan minyak untuk membiayai pembangunan. Maka pembangunan ekonomi sekarang harus bertumpu pada pelaku swasta (non-pemerintah) . Caranya adalah mendorong ekspor non-migas, terutama dari sektor industri padat karya. Sumber pendanaan investasi dari dalam negeri juga harus didorong.

Di sini pun terlihat bahwa meski jatuhnya harga minyak memaksa negara untuk mengurangi dominasinya dalam kegiatan ekonomi, tetap ada batas-batas bagi gagasan liberalisasi untuk dijalankan. Liberalisasi ekonomi akan mengancam penerimaan rente yang selama ini dinikmati oleh kelompok kepentingan, terutama mereka yang dekat dengan kekuasaan. Dan Widjojo dkk., meski banyak orang mengira mereka begitu berkuasa, tetap tidak bisa menembus ruang-ruang ini.

Itulah mengapa liberalisasi di periode ‘80an terjadi di sektor keuangan dan perbankan (lewat kebijakan deregulasi yang dikenal dengan PAKTO dan PAKNO). Memang ada alasan objektif untuk meliberalisasi sektor keuangan. Iklim finansial yang represif tidak akan mendukung tujuan untuk mengembangkan industri dan meningkatkan ekspor non-migas.

Tapi ada juga alasan ekonomi-politik: pemain di sektor perbankan saat itu belum banyak. Tekanan dari para kroni dan kelompok kepentingan juga lebih kecil dibanding meliberalisasi, misalnya, terigu atau kelapa sawit. Deregulasi perbankan di periode ‘80an membuat krisis akibat jatuhnya harga minyak tahun ’82 bisa dilewati.

Bahkan setelah itu Indonesia mengalami era pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Widjojo sendiri sejak 1983 tidak lagi masuk di kabinet. Masih ada Subroto, Emil Salim, Ali Wardhana, JB Sumarlin, lalu Arifin Siregar, Radius Prawiro, Rahmat Saleh, lalu belakangan SB Joedono.

* * *

Kelompok kritik yang kedua mempermasalahkan dominasi kelompok teknokrat
seperti Mafia Berkeley dalam kebijakan publik. Selain itu, banyak kebijakan
yang diambil tidak transparan dan melalui sebuah perdebatan publik. Dengan
kata lain, adanya Mafia Berkeley mencederai demokrasi. Saya bukan ahli
politik, dan saya akui saya tidak punya cukup argumen akademis untuk
membahas soal ini.
Tapi ada dua tanggapan umum.

Pertama, soal transparansi pengambilan kebijakan. Saya kira, problemnya ada
pada keseluruhan proses pengambilan kebijakan di era Suharto. Tidak salah
jika dikatakan proses pengambilan kebijakan ekonomi saat itu tidak
transparan. Demikian halnya kebijakan hukum, politik (ingat lima UU
politik), sensor buku, media dan film, hingga berbagai keputusan terkait
IPTN, mobil nasional dan sebagainya. Lalu apa yang membuat Mafia Berkeley
dan kebijakan ekonomi jadi lebih tidak demokratis dibanding lainnya?

Kedua, soal dominasi Mafia Berkeley dalam kebijakan. Hal ini sesungguhnya
masih sangat diperdebatkan. Benarkah Mafia Berkeley demikian berkuasanya
menentukan arah kebijakan? Pada akhirnya Widjojo dkk. tetap hanya salah
satu dari sejumlah ‘aktor’ yang berkompetisi atas pengaruh.

Bahkan dalam bidang ekonomi, ada banyak kasus yang menunjukkan bahwa peran
Widjojo dkk. tetap terbatas. Meski menggunakan ekonomi sebagai fondasi
untuk mendapatkan legitimasi, negara Orde Baru punya logika sendiri. Dan
ini justru menunjukkan bahwa dominasi Widjojo dkk. dalam mempengaruhi
kebijakan Suharto tidak sebesar dan sedominan yang banyak digambarkan.

Ada ruang-ruang dimana Widjojo dkk. tetap tidak bisa mempengaruhi Suharto.
Contohnya adalah mismanajemen penggunaan penerimaan negara dari rejeki
minyak tahun yang berujung pada krisis Pertamina tahun ‘70an. Uang yang
berlimpah mendorong Pertamina melakukan ekspansi berlebihan ke kegiatan
yang ada di luar bisnis intinya, seperti membangun hotel, perusahaan
penerbangan dan sebagainya.

Pertamina saat itu adalah sebuah ‘negara di dalam negara’ yang dikuasai
oleh klik di luar Mafia Berkeley. Contoh lain adalah proteksi terhadap
industri terigu yang diberikan hingga bertahun-tahun adalah contoh lain.
Pemegang monopoli terigu adalah kelompok usaha Salim yang dekat dengan
Suharto.

Beberapa kali Widjojo dkk. meminta Suharto untuk menghapus monopoli terigu,
karena konsumen yang kebanyakan penduduk miskin akan diuntungkan dengan
harga terigu yang lebih murah. Tapi usaha ini selalu kandas, bahkan hingga
era ’90an saat SB Joedono menjabat Menteri Perdagangan.

Peran kelompok Widjojo dkk. juga makin turun memasuki ‘90an, ketika
percaturan politik-ekonomi juga berubah. Di sisi bisnis, liberalisasi
membuat posisi kelompok pengusaha relatif terhadap penguasa makin besar.

Selain itu banyak juga kelompok-kelompok bisnis baru – termasuk putra-putri
Suharto yang sudah beranjak dewasa – dengan kepentingan yang beragam. Dan
seringkali kepentingan mereka tidak sejalan dengan gagasan liberalisasi
ekonomi. Jadi ironis karena liberalisasi tahap awal memberi ruang buat
swasta untuk lebih berperan. Tapi ketika mereka mendapat tempat, mereka
melobi kekuasaan untuk mengurangi liberalisasi ekonomi.

Di sisi politik, pola patron-clientship makin kompleks dan dinamis. Banyak
kelompok baru yang berkompetisi untuk mendapatkan akses ke Suharto.
Termasuk kelompok teknolog yang mengusung ide tentang kebijakan ekonomi
yang lebih ‘nasionalis’ (baca: inward-looking dan proteksionis) .

Meski posisi kunci bidang ekonomi masih dipegang oleh Mafia Berkeley (dalam
arti lebih luas), pengaruh mereka secara umum makin turun. Di saat yang
sama, Suharto juga merasa perlu merangkul aliansi dengan kelompok teknolog
serta Islam. Peran kapitalis kroni juga makin besar, terutama yang
melibatkan putra-putri Suharto.

Hasilnya adalah periode ‘90an yang ambivalen. Liberalisasi ekonomi tetap
berlanjut, dengan bergabungnya Indonesia ke dalam WTO dan APEC serta
sejumlah deregulasi investasi. Di saat yang sama kita juga melihat berbagai
kebijakan yang proteksionis dan inward-looking seperti subsidi untuk IPTN
yang diambil bukan hanya dari APBN tapi dari dana non-budgeter, tata niaga
cengkeh dan jeruk (yang diberikan pada Tommy Suharto dan Tutut), serta
proyek mobil nasional (lagi-lagi Tommy).

In Memorian, The Don (bag.3).

*Bagian III: Logika ekonomi*

Dalam tulisannya yang jadi pengantar buku ‘Pengalaman Pembangunan Indonesia, Emil Salim menulis lebih dalam soal dikesampingkannya logika ekonomi dalam pengambilan kebijakan di periode itu.

Di paruh pertama dekade ‘60an, 45 persen APBN dialokasikan untuk pengeluaran militer. Ini tidak lepas dari keputusan politik untuk merebut kembali Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia. Selain militer, APBN terserap untuk sejumlah proyek mercu suar. Ini semua dibiayai lewat, terutama, mencetak uang.

Akibatnya, volume uang beredar jadi tidak terkendali. Teori ekonomi mengajarkan, ada hubungan positif antara uang beredar dan inflasi. Ini yang menjebabkan inflasi terbang ke angka 100 persen antara 1962-64, dan 650 persen dari Desember 1964-Desember 1965. Selain inflasi, neraca perdangangan juga mengalami defisit parah, dan cadangan devisa turun dari 326,4 juta dolar AS (1960) menjadi hanya 8,6 juta dolar AS (1965).

Hutang luar negeri saat itu berjumlah 2,4 milyar dolar AS; hampir separuhnya digunakan untuk pos militer (hal ix-x). Kebijakan ini mungkin punya hal positif bagi pembagunan karakter bangsa dan semangat nasionalisme. Tapi tidak bagi kesejahteraan.

Di tahun-tahun awal Orde Baru (1966-71), setelah Widjojo dkk. menggawangi pos kebijakan ekonomi, stabilisasi harga adalah prioritas utama. Salah satunya adalah mendisiplinkan pengeluaran pemerintah.

Hasilnya, inflasi berhasil diturunkan. Karena inflasi turun, pendapatan riil penduduk, terutama buruh/karyawan di perkotaan, naik secara signifikan. Dampaknya terhadap kesejahteraan terlihat dari turunnya jumlah penduduk miskin serta tingkat ketimpangan (lihat Anne Booth dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies, April 2000).

Hubungan antara defisit anggaran, uang beredar dan inflasi adalah satu contoh sederhana dari logika ekonomi yang dilupakan oleh pemerintahan Sukarno, sekaligus salah satu instrumen awal yang digunakan Widjojo dkk. dalam membenahi warisan problem ekonomi.

Contoh lain – juga diceritakan ulang oleh Emil Salim – adalah hubungan antara permintaan, penawaran dan harga. Dalam menghitung volume produksi beras, pemerintah pusat menerima laporan dari pejabat di daerah dan Biro Pusat Statistik. Tentu banyak error, bias dan inkonsistensi dari angka yang dilaporkan. Bisa karena murni kesalahan statistik, bisa juga karena kecenderungan pejabat daerah melaporkan lebih tinggi dari yang sebenarnya.

#####

Namun hukum penawaran mengatakan, kalau penawaran sedikit, harga akan naik. Kalau laporan mengatakan jumlah produksi berlimpah tapi harga beras tidak turun, bahkan naik, tentu ada masalah dalam angka-angka yang dilaporkan. Sebagai Ketua Bappenas, Widjojo menginstruksikan bawahannya untuk menggunakan ‘harga beras pada musim panen’ sebagai indikator tinggi-rendahnya produksi beras, bukan perkiraan pejabat daerah (hal. xix-xx).

Pidato pengukuhan Widjojo sebagai Guru Besar Ilmu Ekonomi (1963) memuat pemikiran yang lebih detail tentang penggunaan economic inner logic untuk keperluan perencanaan pembangunan dan pengambilan kebijakan. Widjojo membahas dengan baik sekali, dan dengan bahasa yang sederhana, tentang kegunaan analisis ekonomi:

Yang diusahakan oleh analisa ekonomi bukanlah diperolehnya pengertian yang serba lengkap mengenai keseluruhan yang serba kompleks tersebut, melainkan “… berbagai hubungan umum yang terdapat di antara gejala-gejala ekonomi tertentu” (hal 12).

Widjojo kemudian membahas mengenai penuangan analisis ekonomi dalam bentuk persamaan matematika. Di dalam persamaan matematika, ada variabel, ada parameter (yang besarannya konstan). Variabel bisa dibedakan sebagai variabel eksogen dan endogen; dan mana yang dikuasai oleh pengambil keputusan (variabel kebijakan atau instrumen), dan mana yang harus diterima sebagai given.

Formulasi matematis dalam analisis ekonomi memiliki sejumlah kelebihan: penajaman perumusan pengertian dan hubungan antara variabel, pernyataan asumsi secara eksplisit, konsistensi logis antara asumsi dan kesimpulan bisa diuji, interdepenensi antara berbagai gejala ekonomi bisa lebih mudah ditunjukkan dan dikaji lebih jauh, dan langkah selanjutnya yaitu pengukuran dan pengujian empiris bisa dilakukan (hal. 15).

Model ekonomi, dengan demikian: “… dapat membantu pengambil keputusan mengambil tindakan secara rasional, dalam arti bahwa pengambil keputusan telah memperhitungkan serta membanding-bandingk an akibat berbagai tindakan alternatif yang dapat ia ambil” (hal 15).

Bukan berarti Widjojo memproklamasikan supremasi pendekatan ekonomi-kuantitatif atas disiplin ilmu atau pendakatan lainnya. Di pidato yang sama, ia juga membahas soal kelemahan pendekatan ini. Pertama, pada dasarnya penggunaan matematika dalam analisis ekonomi adalah reduksi dan simplifikasi atas masalah yang kompleks dan seringkali nonlinier. Widjojo menegaskan bahwa matematika adalah perangkat untuk mempertajam perumusan. Penelaahan secara institusional dan perumusan konsep secara kualitatif tetap tidak bisa ditinggalkan (hal. 14).

Kedua, Widjojo menggarisbawahi bahwa masalah produksi dan pertumbuhan ekonomi bukanlah semata-mata gejala ekonomi. Kerjasama antara disiplin ekonomi dan ilmu sosial lain akan sangat berguna dalam memahami sebuah masalah. Menariknya, di paragraf yang sama ia juga menuliskan bahwa “kerjasama antara berbagai ilmu pengetahuan tidak selalu memberikan hasil yang memuaskan dan mungkin mengandung hal-hal yang mengecewakan (hal. 27).” Sayang ia tidak membahas lebih lanjut tentang hal ini, jadi saya tidak bisa menangkap konteks dan maksud dari adanya pernyataan yang terdengar paradoks itu.

Jika pidato pengukuhan Guru Besar itu adalah ringkasan dari pemikiran ekonomi Widjojo, maka pidato itu bisa dilihat sebagai dasar dari sintesis antara pemikiran akademis dan kebijakan publik. Sebuah proses pengambilan kebijakan yang didasarkan atas pendekatan ilmiah, dalam hal ini teori ekonomi yang diimplementasikan dalam kebijakan pembangunan ekonomi. Artinya, teori (ekonomi) bukan hanya berhenti sebagai sebuah produk ilmiah, tapi menjadi landasan bagi kebijakan. Sebaliknya, pengambilan kebijakan juga tidak semata-mata didasarkan pada retorika yang heroik atau deal politik, melainkan punya pijakan pada landasan ilmiah.

Sintesis antara akademik dan kebijakan publik ini (kemudian) dikenal dengan istilah teknokrasi. Pengambil kebijakan yang berasal dari kalangan akademis-profesiona l dikenal sebagai teknokrat. Widjojo dkk. kemudian menjadi sebuah model atas sebuah kelompok teknokrat yang  menggawangi kebijakan publik (ekonomi) di sebuah negara. Tidak semua melihat model ini sebagai ideal. Tidak sedikit yang bahkan menganggap teknokrasi ala ‘Mafia Berkeley’ sebagai anti-demokrasi, bahkan ‘kecelakaan sejarah.’

In Memorian, The Don (bag.2).

*Oleh: Ari Perdana*)
*Bagian II: Perencanaan atau Pasar?*

Nama Widjojo dkk. – para mafia dari Berkeley – seringkali disebut dalam satu paragraf yang sama dengan kata-kata ‘pasar bebas’, ‘ekonomi liberal’ dan semacamnya. Betul, di bawah Widjojo dkk. ekonomi Indonesia mengalami beberapa episode liberalisasi (sebagai catatan, Suharto juga tidak suka dengan istilah ‘liberal’, maka terminologi yang saat itu digunakan adalah ‘deregulasi’). Tapi dalam tipologi aliran-aliran dalam ilmu ekonomi, paradigma dan kebijakan ekonomi yang dijalankan oleh Mafia Berkeley bukan berada di spektrum yang lebih dekat ke Hayek-Friedman. Sebaliknya, Widjojo dkk. justru lebih memiliki karakter ‘dirigista’ – dimana perencanaan pembangunan dan peran pemerintah adalah faktor yang penting.

Itu tentu tidak terpisahkan dari konteks sejarah. Ketika Widjojo pergi ke Berkeley, 1957-1961, Keynesian adalah paradigma ekonomi yang dominan saat itu. ‘Revolusi neoklasik’ yang dicetuskan oleh Milton Friedman dan kelompok Chicago baru terjadi di tataran pemikiran menjelang akhir ‘60an. Pengaruhnya dalam orientasi kebijakan baru akan terjadi setelah krisis
minyak dan sejumlah episode hiperinflasi di pertengahan ‘70an.

Departemen Ekonomi di Berkeley sendiri punya tradisi yang lebih dekat ke Keynesian ketimbang neoklasik. Kelak, di awal ‘70an hingga akhir ‘80an, paradigma riset dan pengajaran ilmu ekonomi – khususnya ekonomi makro – di universitas- universitas terbelah menjadi dua kubu. Satu kubu lebih melihat pentingnya kebijakan dalam stabilisasi ekonomi. Paradigma ini dianut oleh universitas- universitas yang lokasinya di pantai: Harvard, MIT, Yale, Princeton, NYU atau Pennsylvania di Pantai Timur serta Stanford, Berkeley dan UCLA di Pantai Barat. Kubu lain adalah yang mengedepankan analisis di tingkat individu yang rasional, ketidakpastian serta inter-temporal. Kubu ini lebih skeptis terhadap peran pemerintah. Penganutnya adalah universitas- universitas yang lebih dekat ke Great Lakes: Chicago, Minnesota, Wisconsin, Rochester, Carnegie-Mellon dan lainnya. Dua kubu ini sering juga dirujuk sebagai kubu ‘air asin’ (saltwater) dan ‘air tawar’ (freshwater) .

Di Berkeley, Widjojo dkk. lebih spesifik menekuni cabang ekonomi pembangunan. Sub-disiplin ekonomi pembangunan saat itu belum seberagam sekarang. Kebanyakan literatur masih fokus pada teori pertumbuhan. Pendekatan yang dominan adalah model kesenjangan tabungan-investasi, dan teori yang paling berpengaruh adalah Harrod-Domar (oleh Roy Harrod, 1939 dan Evsey Domar, 1946). Teori ini melihat bahwa satu faktor utama bagi sebuah negara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah investasi. Karya Robert Solow yang kemudian menjadi teori pertumbuhan paling banyak dirujuk – dan dalam banyak hal menunjukkan kelemahan teori Harrod-Domar – baru terbit tahun 1956, dan perlu beberapa tahun sebelum teori itu cukup berpengaruh.

#####

Selain Harrod dan Domar, literatur lain yang cukup berpengaruh di periode itu adalah karya Walt Rostow, Stages of Growth: a Non-Communist Manifesto, yang terbit di tahun 1960, menjelang Widjojo menyelesaikan studi. Rostow menulis, ada lima tahapan modernisasi, dari masyarakat tradisional, persiapan tinggal landas, periode tinggal landas, tahap menuju kematangan, dan era konsumsi massal. Akumulasi investasi adalah kunci bagi sebuah negara untuk bisa pindah dari satu tahap ke tahap lainnya.

Tentu saya tidak mengatakan bahwa Widjojo dkk. hanya membaca Keynes, Harrod-Domar dan Rostow. Poin saya adalah pemikiran dan implementasi kebijakan ekonomi Widjojo dkk. tentu tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah. Spesifiknya, seperti apa perkembangan dan dinamika ilmu ekonomi di waktu dan lingkungan saat itu.

Saya juga tidak mengatakan bahwa Widjojo dkk. adalah antipasar. Sebaliknya, sebagai ekonom yang taat pada pemikiran rasionalitas, buat Widjojo dkk. proses pembangunan ekonomi dan alokasi sumber daya melalui mekanisme pasar atau perencanaan adalah semata-mata pilihan. Seperti Widjojo menuliskan dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Ekonomi (1963), dan dimuat ulang dalam buku Pengalaman Pembangunan Indonesia halaman 10:

Suatu masyarakat yang sedang membangun dapat mengambil keputusan tersebut secara implisit dengan menyerahkannya kepada berbagai kekuatan ekonomi yang terdapat dalam masyarakat tersebut. Akan tetapi, masyarakat yang bersangkutan dapat pula mengadakan pilihan secara sadar dan berencana.

Dalam hal yang akhir ini terdapatlah suatu usaha pembangunan berencana yang salah satu aktivitas pokoknya berbentuk perencanaan pembangunan. Perencanaan ini pada asasnya berkisar kepada dua hal: yang pertama ialah penentuhan pilihan secara sadar mengenai berbagai tujuan konkret yang hendak dicapai … dan yang kedua ialah pilihan di antara cara-cara alternatif yang efisien serta rasional guna mencapai berbagai tujuan tersebut.

Implementasi dari perencanaan pembangunan versi Widjojo dkk. terlihat dari berbagai hal: Pembangunan Jangka Panjang (PJP), Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita – yang melewati usia sekolah di era Orde Baru tentu bisa melihat kemiripan antara tahap-tahap yang dikemukakan Rostow dan tujuan tiap Repelita serta Pembangunan Jangka Panjang), serta adanya institusi seperti Bappenas atau Bulog, serta program Keluarga Berencana (Widjojo juga seorang demografer, disertasinya tentang tren populasi Indonesia).

Di mana peran mekanisme pasar? Mengutip istilah Prof. Emil Salim, kebijakan ekonomi yang mereka jalankan bisa disebut sebagai planning through market. Artinya, sebagai perencana, pemerintah menetapkan sejumlah tujuan jangka panjang dan jangka pendek. Pemerintah bisa menetapkan tujuan, dan dalam beberapa hal bisa secara aktif memastikan agar tujuan-tujuan itu bisa tercapai.

Contohnya, target inflasi adalah sekian persen. Pemerintah bisa mengusahakan agar tujuan itu tercapai dengan, misalnya, mengontrol harga pangan lewat Bulog (kelompok pangan, terutama beras, adalah penyumbang utama inflasi). Tapi harga beras tetap merupakan hasil dari interaksi permintaan dan penawaran. Pemerintah tidak bisa sepenuhnya mengontrol permintaan (konsumen) dan penawaran (petani, pemilik beras yang diproduksi). Pemerintah memang bisa memberikan insentif buat petani untuk meningkatkan produksi. Namun usaha pemerintah tetap tunduk pada hukum penawaran dan permintaan.

Saya sendiri melihatnya sebagai market through planning. Teori ekonomi mengajarkan bahwa alokasi sumber daya yang terjadi lewat mekanisme pasar adalah kondisi ideal. Tapi kondisi itu menyaratkan sejumlah hal, terutama bahwa pasar eksis dan bekerja sempurna. Di akhir ‘60an dan awal ‘70an, jangankan berkerja sempurna – banyak pasar bahkan tidak eksis (pasar saham dan surat berharga adalah satu contoh). Sejumlah institusi dan infrastruktur yang menjadi prasyarat bagi mekanisme pasar harus dibentuk dulu.

Ini menjadikan hubungan antara frase ‘Mafia Berkeley’ dan ‘ekonomi pasar’ adalah sesuatu yang kompleks. Kita perlu memahami sejumlah konteks – mulai dari spektrum yang ada dalam ilmu ekonomi soal pasar dan peran pemerintah, hingga kebijakan seperti apa yang dijalankan oleh tim ekonomi yang digawangi oleh Widjojo dkk, termasuk kondisi seperti apa yang melatarbelakangi kebijakan itu diambil.

Satu hal, Widjojo dkk. berangkat dari tradisi ilmu ekonomi yang berbeda dengan aliran Chicago. Pemahaman ini jadi penting karena di masa sekarang, banyak yang menempatkan frase ‘neoliberalisme’ dengan ‘Milton Friedman’ dan ‘Mafia Berkeley’ dalam satu paragraf, bahkan kalimat, yang sama. Ini menunjukkan betapa seringnya jargon neoliberalisme digunakan tanpa kredibilitas. Tapi, buat saya, apa yang dilakukan Widjojo dkk. adalah meletakkan fondasi bagi mekanisme pasar untuk bisa eksis dan bekerja dalam ekonomi Indonesia.

Terlepas dari soal mekanisme pasar, ada satu hal lebih mendasar yang diperkenalkan oleh Widjojo Nitisastro dalam konteks kebijakan ekonomi di Indonesia: logika ekonomi. Kalimat di atas mungkin terkesan lucu. Tapi itulah kondisi yang terjadi di tahun-tahun terakhir kekuasaan Sukarno. Persoalan ekonomi “dibiarkan terbengkalai, dianggap soal kecil ataupun bukan soal.” Sementara itu, “prinsip-prinsip ekonomi yang bersumber pada pikiran rasional diangap tidak perlu” (hal. 47-48, aslinya merupakan uraian Widjojo sebagai moderator bidang ekonomi pada Simposium ‘Menjelajah Tracee Baru’ di UI, 6-9 Mei 1966).

In Memorian, The Don. (bag.1)

*Oleh: Ari Perdana*)
*Bagian I: Sang ‘Don’
*
Ia duduk di kursi roda sambil menyalami setiap tamu yang datang. Tubuh tuanya memang tidak memungkinkannya lagi berdiri lama, dan bergerak ke sana-sini tanpa kursi roda. Tapi  kemampuannya berbicara di depan umum selama satu jam lebih, dengan artikulasi yang jelas dan alur pikiran yang runut menunjukkan bahwa kerentaan fisik tidak menyebabkan penurunan
kemampuan otaknya.
Hari itu Prof. Widjojo Nitisastro kembali tampil di muka publik, di acara peluncuran bukunya berjudul Pengalaman Pembangunan Indonesia: Kumpulan Tulisan dan Uraian Widjojo Nitisastro. Buku lain yang juga diluncurkan hari itu adalah Esai dari 27 Negara tentang Widjojo Nitisastro. Penghargaan dari Para Tokoh, suntingan Prof. Arsjad Anwar, Prof. Aris Ananta dan Dr. Ari Kuncoro. Acara itu juga menjadi semacam reuni lintas generasi sejumlah ekonom Indonesia; kolega, asisten, murid hingga muridnya murid Widjojo. Hadir di acara itu antara lain Prof. Emil Salim, Prof. JB Sumarlin dan Prof. Subroto – beberapa yang masih tersisa dari generasi pertama ‘Mafia Berkeley.’
Mafia Berkeley. Sebutan ini sudah melegenda. Pertama kali dicetuskan oleh seorang aktifis-penulis ‘kiri’ AS, David Ransom dalam sebuah artikel Rampart edisi 4 tahun 1970. Rampartadalah sebuah majalah yang awalnya terbit sebagai media literatur kelompok Katolik, tapi belakangan menjadi media kelompok ‘kiri baru.’ Majalah ini sendiri berhenti terbit tahun 1975. Saya terus terang masih belum bisa mendapatkan akses ke artikel yang ditulis Ransom. Tapi dari sejumlah literatur sekunder yang mencantumkannya sebagai referensi, di situ Ransom menghubungkan Mafia Berkeley dengan proyek AS (terutama CIA) untuk menggulingkan Sukarno, melenyapkan pengaruh komunis di Indonesia, mendudukkan Suharto di kekuasaan untuk menjalankan kebijakan politik dan ekonomi yang berorientasi pada Barat, hingga mengaitkan Widjojo dkk. dengan pembantaian massal eks PKI di akhir dekade ‘60an.
Saya bukan ahli sejarah yang bisa memberikan pendapat akademik mengenai kebenaran ‘teori’ ini. Sejumlah hal yang dikemukakan di situ adalah fakta. Adalah fakta bahwa antara pertengahan 1950an hingga awal 1970an, sejumlah pengajar lulusan FEUI menjalani studi di University of California, Berkeley, atas biaya Ford Foundation. Adalah fakta bahwa itu terjadi di era perang dingin yang berlangsung hingga awal 1990an, dimana baik kubu AS/Barat dan Uni Soviet/Komunis sama-sama bertarung dalam merebut pengaruh di seluruh Negara di dunia. Para sejarawan juga setuju bahwa CIA memainkan peran yang signifikan dalam kejatuhan Sukarno. Dan meski banyak pihak masih berdebat soal berapa jumlah korban pembunuhan massal pasca-G30S, adanya pembunuhan massal itu tidak lagi menjadi hal yang bisa disangkal. Tapi bahwa berbagai hal itu benar terjadi pada kurun waktu yang berdekatan tidak lantas membuat semuanya bisa disimpulkan sebagai berhubungan, apalagi berhubungan sebab-akibat. Apalagi, seperti implikasi yang coba dibangun oleh Ransom, menyimpulkan bahwa ada hubungan sebab-akibat antara tampilnya Mafia Berkeley sebagai arsitek ekonomi Orde Baru dengan pembantaian massal eks-PKI.
Lepas dari itu, istilah Mafia Berkeley sudah jadi sebuah nomenklatur klasik dalam sejarah Indonesia. Kebanyakan digunakan secara peyoratif, menganggap bahwa Mafia Berkeley memang benar-benar sebuah organisasi kriminal dengan struktur dan kode etik tertentu bak novel The Godfather karya Mario Puzo. Orang-orang seperti Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli, yang sempat menangani tim ekonomi Indonesia pasca Suharto, menganggap Mafia Berkeley sedemikan berpengaruhnya sehingga orang-orang seperti mereka yang datang dari luar lingkaran Mafia tidak pernah bisa ‘tenang’ menjalankan peran mereka karena selalu ‘digoyang.’ Kwik dan Rizal Ramli juga tidak pernah bosan menyalahkan Mafia Berkeley atas berbagai masalah ekonomi Indonesia yang mereka hadapi ketika menjabat menteri, meskipun orang-orang yang disebut sebagai Mafia ini sudah bertahun-tahun pensiun. (Saya kira ini justru bentuk ketidakpercayaan diri serta keengganan untuk mengakui terbatasnya kemampuan mereka dari orang-orang seperti Kwik dan Rizal).
Banyak juga yang secara salah kaprah mengidentikkan Mafia Berkeley sebagai kelompok pengusung dan pengadvokasi pasar bebas alias ekonomi laissez-faires dan peran pemerintah yang seminim mungkin. Pendapat ini tidak salah, tapi tidak sepenuhnya benar. Saya akan diskusikan hal ini lebih di bagian berikut.
Istilah Mafia Berkeley sudah telanjur melekat. Prof. Widjojo, Emil Salim dan lainnya juga agaknya tidak terlalu ambil pusing dengan istilah ini. Saya kira istilah itu memang tidak perlu ditolak. Justru sebutan ‘mafia’ kepada Prof. Widjojo dkk. – dengan ‘Don Widjojo’ sebagai kepala keluarga, alm. Prof. Sadli sebagai consigliere, Prof. Emil Salim dan lainnya sebagai paracaporegime – menggambarkan satu hal: sebuah kelompok teknokrat yang diikat oleh kesamaan visi, komitmen, chemistry serta trust. Ini semua yang membuat komunikasi, koordinasi dan kerjasama di antara mereka dalam mengeluarkan kebijakan ekonomi bisa berjalan efektif. Satu hal yang belum bisa kita temukan lagi sekarang. Apalagi di dalam sebuah kabinet yang disusun atas dasar terlalu banyak deal politik.

Kamis, 08 Maret 2012

SENYUM dengan HATI

email dari seorang temenn

Sebuah kisah yang sangat menyentuh dan baik untuk tauladan bagi siapa saja yang membacanya.Bener2 bagus dan indah maknanya, serta sangat mengharukan.
Kisah di bawah ini adalah kisah yang saya dapat dari milis alumni Jerman,atau warga Indonesia yg bermukim atau pernah bermukim di sana.Demikian layak untuk dibaca beberapa menit, dan direnungkan seumurhidup
==================================
 
Saya adalah ibu dari tiga orang anak dan baru saja menyelesaikan kuliah saya. Kelas terakhir yang harus saya ambil adalah Sosiologi.
 
Sang Dosen sangat inspiratif, dengan kualitas yang saya harapkan setiap orang memilikinya.
 
Tugas terakhir yang diberikan ke para siswanya diberi nama "Smiling."
Seluruh siswa diminta untuk pergi ke luar dan memberikan senyumnyakepada tiga orang asing yang ditemuinya dan mendokumentasikan reaksimereka. Setelah itu setiap siswa diminta untuk mempresentasikandidepan kelas. Saya adalah seorang yang periang, mudah bersahabat danselalu tersenyum pada setiap orang.  Jadi, saya pikir,tugas inisangatlah
mudah.
 
Setelah menerima tugas tsb, saya bergegas menemui suami saya dan anak bungsu saya yang menunggu di taman di halaman kampus, untuk pergi kerestoran McDonald's yang berada di sekitar kampus. Pagi itu udaranya sangat dingin dan kering. Sewaktu suami saya akan masuk dalam antrian, saya menyela dan meminta agar dia saja yang menemani si Bungsu sambil mencari tempat duduk yang masih kosong.
 
Ketika saya sedang dalam antrian, menunggu untuk dilayani, mendadak setiap orang di sekitar kami bergerak menyingkir, dan bahkan orang yang semula antri dibelakang saya ikut menyingkir keluar dari antrian.
 
Suatu perasaan panik menguasai diri saya, ketika berbalik dan melihat mengapa mereka semua pada menyingkir ? Saat berbalik itulah saya membaui suatu "bau badan kotor" yang cukup menyengat, ternyata tepat dibelakang saya berdiri dua orang lelaki tunawisma yang sangat dekil!
 
Saya bingung, dan tidak mampu bergerak sama sekali.
 
Ketika saya menunduk, tanpa sengaja mata saya menatap laki-laki yang lebih pendek, yang berdiri lebih dekat dengan saya, dan ia sedang "tersenyum" kearah saya. Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam, tapi juga memancarkan kasih sayang. Ia menatap kearah saya, seolah ia meminta agar saya dapat menerima 'kehadirannya' ditempat itu.
 
Ia menyapa "Good day!" sambil tetap tersenyum dan sembari menghitung beberapa koin yang disiapkan untuk membayar makanan yang akan dipesan.
Secara spontan saya membalas senyumnya, dan seketika teringat oleh saya 'tugas' yang diberikan oleh dosen saya. Lelaki kedua sedangmemainkan tangannya dengan gerakan aneh berdiri di belakang temannya.
 
Saya segera menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita defisiensi
mental, dan lelaki dengan mata biru itu adalah "penolong"nya. Saya merasa sangat prihatin setelah mengetahui bahwa ternyata dalam antrian itu kini hanya tinggal saya bersama mereka,dan kami bertiga tiba2 sajasudah sampai didepan counter.
 
Ketika wanita muda di counter menanyakan kepada saya apa yang ingin saya pesan, saya persilahkan kedua lelaki ini untuk memesan duluan.
Lelaki bermata biru segera memesan "Kopi saja, satu cangkir Nona." Ternyata dari koin yang terkumpul hanya itulah yang mampu dibeli oleh
mereka (sudah menjadi aturan direstoran disini, jika ingin duduk di dalam restoran dan menghangatkan tubuh, maka orang harus membeli sesuatu). Dan tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan badan.
 
Tiba2 saja saya diserang oleh rasa iba yang membuat saya sempat terpaku beberapa saat, sambil mata saya mengikuti langkah mereka mencari tempat duduk yang jauh terpisah dari tamu2 lainnya, yang hamper semuanya sedang mengamati mereka.. Pada saat yang bersamaan, saya baru menyadari bahwa saat itu semua mata di restoran itu juga sedang tertuju ke diri saya, dan pasti juga melihat semua 'tindakan' saya.
 
Saya baru tersadar setelah petugas di counter itu menyapa saya untuk ketiga kalinya menanyakan apa yang ingin saya pesan. Saya tersenyum dan minta diberikan dua paket makan pagi (diluar pesanan saya) dalam nampan terpisah.
 
Setelah membayar semua pesanan, saya minta bantuan petugas lain yang ada di counter itu untuk mengantarkan nampan pesanan saya ke meja/tempat duduk suami dan anak saya. Sementara saya membawa nampan lainnya berjalan melingkari sudut kearah meja yang telah dipilih kedua lelaki itu untuk beristirahat. Saya letakkan nampan berisi makanan itu di atas mejanya, dan meletakkan tangan saya di atas punggung telapaktangan dingin lelaki bemata biru itu, sambil saya berucap "makanan ini telah saya pesan untuk kalian berdua."
 
Kembali mata biru itu menatap dalam ke arah saya, kini mata itu mulai basah ber-kaca2 dan dia hanya mampu berkata "Terima kasih banyak, nyonya."  Saya mencoba tetap menguasai diri saya, sambil menepuk bahunya saya berkata "Sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian, Tuhan juga berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu ketelinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada kalian." Mendengar ucapan saya, si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan memeluk lelaki kedua sambil terisak-isak. Saat itu ingin sekali saya merengkuh kedua lelaki itu.
 
Saya sudah tidak dapat menahan tangis ketika saya berjalan meninggalkan mereka dan bergabung dengan suami dan anak saya, yang tidak jauh dari tempat duduk mereka. Ketika saya duduk suami saya mencoba meredakan tangis saya sambil tersenyum dan berkata "Sekarang saya tahu, kenapa Allah swt mengirimkan dirimu menjadi istriku, yang pasti, untuk memberikan 'keteduhan' bagi diriku dan anak-2ku! " Kami saling berpegangan tangan beberapa saat dan saat itu kami benar2 bersyukur dan menyadari,bahwa hanya karena 'bisikanNYA' lah kami telah mampu
Memanfaatkan 'kesempatan' untuk dapat berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat membutuhkan.
 
Ketika kami sedang menyantap makanan, dimulai dari tamu yang akan meninggalkan restoran dan disusul oleh beberapa tamu lainnya, mereka satu persatu menghampiri meja kami, untuk sekedar ingin 'berjabat tangan' dengan kami.  Salah satu diantaranya, seorang bapak, memegangi tangan saya, dan berucap "Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada disini, jika suatu saat saya diberi kesempatan oleh Allah, saya akan lakukan seperti yang telah kamu
contohkan tadi kepada kami."
 
Saya hanya bisa berucap "terima kasih" sambil tersenyum. Sebelum beranjak meninggalkan restoran saya sempatkan untuk melihat kearah kedua lelaki itu, dan seolah ada 'magnit' yang menghubungkan bathin kami,mereka langsung menoleh kearah kami  sambil tersenyum, lalu melambai-2kan tangannya kearah kami. Dalam perjalanan pulang saya merenungkan kembali apa yang telah saya lakukan terhadap kedua orang tunawisma tadi, itu benar2 'tindakan' yang tidak pernah terpikir oleh saya.
Pengalaman hari itu menunjukkan kepada saya betapa 'kasih sayang' Allah itu sangat HANGAT dan INDAH sekali!
 
Saya kembali ke college, pada hari terakhir kuliah dengan 'cerita' ini ditangan saya. Saya menyerahkan 'paper' saya kepada dosen saya. Dan keesokan harinya, sebelum memulai kuliahnya saya dipanggil dosen saya ke depan kelas, ia melihat kepada saya dan berkata, "Bolehkah saya membagikanceritamu ini kepada yang lain?" dengan senang hati saya mengiyakan.Ketika akan memulai kuliahnya dia meminta perhatian dari kelas untuk membacakan
paper saya. Ia mulai membaca, para siswapun mendengarkan dengan seksama cerita sang dosen, dan ruangan kuliah menjadi sunyi. Dengan cara dan
gaya yang dimiliki sang dosen dalam membawakan ceritanya, membuat para siswa yang hadir di ruang kuliah itu seolah ikut melihat bagaimana sesungguhnya kejadian itu berlangsung, sehingga para siswi yang duduk dideretan belakang didekat saya diantaranya datang memeluk saya untuk mengungkapkan perasaan harunya.
 
Diakhir pembacaan paper tersebut, sang dosen sengaja menutup ceritanya dengan mengutip salah satu kalimat yang saya tulis diakhir paper saya.
 
"Tersenyumlah dengan 'HATImu', dan kau akan mengetahui betapa 'dahsyat'
dampak yang ditimbulkan oleh senyummu itu."
 
Dengan cara-Nya sendiri, Allah telah 'menggunakan' diri saya untuk menyentuh orang-orang yang ada di McDonald's, suamiku, anakku, guruku, dan setiap siswa yang menghadiri kuliah di malam terakhir saya sebagai mahasiswi. Saya lulus dengan 1 pelajaran terbesar yang tidak pernah saya dapatkan di bangku kuliah manapun, yaitu: "PENERIMAAN TANPA
SYARAT."
 
Banyak cerita tentang kasih sayang yang ditulis untuk bisa diresapi oleh para pembacanya, namun bagi siapa saja yang sempat membaca dan memaknai cerita ini diharapkan dapat mengambil pelajaran bagaimana cara
“MENCINTAI SESAMA, DENGAN MEMANFAATKAN SEDIKIT HARTA-BENDA YANG KITA MILIKI, dan bukannya MENCINTAI HARTA-BENDA YANG BUKAN MILIK KITA, DENGANMEMANFAATKAN SESAMA!”
 
Jika anda berpikir bahwa cerita ini telah menyentuh hati anda, Teruskan cerita ini kepada orang2 terdekat anda. Disini ada 'malaikat' yang akan menyertai anda, agar setidaknya orang yang membaca cerita ini
akan tergerak hatinya untuk bisa berbuat sesuatu (sekecil apapun) bagi sesama yang sedang membutuhkan uluran tangannya!
 
Orang bijak mengatakan: Banyak orang yang datang dan pergi dari kehidupanmu, tetapi hanya 'sahabat yang bijak' yang akan meninggalkan JEJAK di dalam
hatimu.
 
Untuk berinteraksi dengan dirimu, gunakan nalarmu.
Tetapi untuk berinteraksi dengan orang lain, gunakan HATImu! Orang yang kehilangan uang, akan kehilangan banyak, orang yang kehilangan teman, akan kehilangan lebih banyak! Tapi orang yang kehilangan keyakinan, akan kehilangan semuanya!
Allah menjamin akan memberikan kepada setiap hewan makanan bagi mereka, tetapi Allah tidak melemparkan makanan itu ke dalam sarang mereka,
hewan itu tetap harus BERIKHTIAR untuk bisa mendapatkannya.
 
Orang-orang muda yang 'cantik' adalah hasil kerja alam, tetapi orang-orang tua yang 'cantik' adalah hasil karya seni. Belajarlah dari PENGALAMAN MEREKA, karena engkau tidak dapat hidup cukup lama untuk bisa mendapatkan semua itu dari pengalaman dirimu sendiri

10 KUALITAS PRIBADI yg diSUKAi

1. KETULUSAN 
Ketulusan membuat orang lain merasa aman dan dihargai karena yakin tidak akan dibodohi atau dibohongi. 
Orang yang tulus selalu mengatakan kebenaran, tidak suka mengada-ada, pura-pura, mencari-cari alasan atau memutarbalikkan fakta. Prinsipnya "Ya diatas Ya dan Tidak diatas Tidak". 
Tentu akan lebih ideal bila ketulusan yang selembut merpati itu diimbangi dengan kecerdikan seekor ular. Dengan begitu, ketulusan tidak menjadi keluguan yang bisa merugikan diri sendiri.

2. RENDAH HATI
 Berbeda dengan rendah diri yang merupakan kelemahan, kerendahan hati justru mengungkapkan kekuatan. Hanya orang yang kuat jiwanya yang bisa bersikap rendah hati. Ia seperti padi yang semakin berisi semakin menunduk. 
Orang yang rendah hati bisa mengakui dan menghargai keunggulan orang lain. Ia bisa membuat orang yang diatasnya merasa oke dan membuat orang yang di bawahnya tidak merasa minder.

3. KESETIAAN
 Kesetiaan sudah menjadi barang langka dan sangat tinggi harganya. Orang yang setia selalu bisa dipercaya dan diandalkan. Dia selalu menepati janjinya, mempunyai komitmen yang kuat, rela berkorban dan tidak suka berkhianat.

4. POSITIF THINKING
Orang yang bersikap positif selalu berusaha melihat segala sesuatu dari kacamata positif, bahkan dalam situasi yang buruk sekalipun. Dia lebih suka membicarakan kebaikan daripada keburukan orang lain, lebih suka bicara mengenai harapan daripada keputusasaan, lebih suka mencari solusi daripada frustasi, lebih suka memuji daripada mengecam, dsb.

5. KECERIAAN
Karena tidak semua orang dikaruniai temperamen ceria, maka keceriaan tidak harus diartikan ekspresi wajah dan tubuh, tapi sikap hati. Orang yang ceria adalah orang yang bisa menikmati hidup, tidak suka mengeluh dan selalu berusaha meraih kegembiraan. Dia bisa mentertawakan situasi, orang lain, juga dirinya sendiri. Dia punya potensi untuk menghibur dan mendorong semangat orang lain.

6. BERTANGGUNG JAWAB
Orang yang bertanggung jawab akan melaksanakan kewajibannya dengan sungguh-sungguh. Kalau melakukan kesalahan, dia berani mengakuinya. Ketika mengalami kegagalan, dia tidak akan mencari kambing hitam untuk disalahkan. Bahkan kalau dia merasa kecewa dan sakit hati, dia tidak akan menyalahkan siapapun. Dia menyadari bahwa dirinya sendirilah yang
bertanggung jawab atas apapun yang dialami dan dirasakannya.


7. PERCAYA DIRI 
Rasa percaya diri memungkinkan seseorang menerima dirinya sebagaimana adanya, menghargai dirinya dan menghargai orang lain. Orang yang percaya diri mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan dan situasi yang baru. Dia tahu apa yang harus dilakukannya dan melakukannya dengan baik.

8. BERJIWA BESAR
Kebesaran jiwa dapat dilihat dari kemampuan seseorang memaafkan orang lain. Orang yang berjiwa besar tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh rasa benci dan permusuhan. Ketika menghadapi masa-masa sukar dia tetap tegar, tidak membiarkan dirinya hanyut dalam kesedihan dan keputusasaan.

9. EASY GOING
Orang yang "Easy Going" menganggap hidup ini ringan. Dia tidak suka membesar-besarkan masalah kecil. Bahkan berusaha mengecilkan masalah-masalah besar. Dia tidak suka mengungkit masa lalu dan tidak mau khawatir dengan masa depan. Dia tidak mau pusing dan stress dengan masalah-masalah yang berada diluar kontrolnya.

10. EMPATI
Empati adalah sifat yang sangat mengagumkan. Orang yang berempati bukan saja pendengar yang baik, tapi juga bisa menempatkan diri pada posisi orang lain. Ketika terjadi konflik dia selalu mencari jalan keluar terbaik bagi kedua belah pihak, tidak suka memaksakan pendapat dan kehendaknya sendiri. Dia selalu berusaha memahami dan mengerti orang lain.